HAYALAN DI WARUNG KOPI

Satu-satunya hiburan yang dimiliki oleh mahasiswa kelas menengah saat ini adalah berhenti sejenak di persimpangan jalan, di situ ada warung kopi dengan fasilitas wifi gratis. Hiburan? Ya, hiburan dengan berbagai definisi yang disematkan kepadanya, entah itu merupakan arti menurut kamus, atau hasil dari perluasan atau penyempitan makna terhadapnya. Yang pasti “hiburan” hari ini bagi mahasiswa diartikan sebagai melepaskan penat setelah seharian bertarung, dengan dirinya sendiri atau dengan system kampus yang rumit (di baca: “waktu dosen” untuk mahasiswa semester tanggung). Dengan harapan bisa menemukan inspirasi atau sekedar menyombongkan diri atas waktu yang tak memiliki raga dan indra, yang tak pernah mengkritik kepada kita “yang suka mengkritik orang lain tanpa inovasi dan solusi konstruktif atau kesadaran diri bahwa sebenarnya kritikan itu seharusnya menjadi boomerang dan cermin”. Mengapa kelas menengah? Pertanyaan ini mungkin terjawab dengan melihat kenyataan bahwa kebanyakan dari kami tidak bisa mencari inspirasi di mal-mal megah seperti juga kebanyakan kelas atas lakukan. Entah karena alasan isi dompet tak memadai atau dengan alasan klasik “tidak punya waktu untuk gituan”. Tapi yang pasti bukan karena kesadaran bahwa “mal adalah produk nyata kapitalisme yang menjadi musuh bersama bagi para pembela kaum bawah – proletar” katanya – karena tindakannya masih dipertanyakan.
Kembali lagi ke warkop – di sana dengan hanya memesan segelas kopi hitam atau minuman aneka rasa-rasa bagi para pengidap sakit lambung – waktu berjam-jam dihabiskan untuk mengeksploitasi dunia maya yang kebanyakan hoaxnya. Sambil membuka halaman favorit social media (FB, Instagram) dan channel ampuh (youtube), mayoritas mahasiswa pasti memperbincangkan up-date terakhir tentang politik bangsa. Kadang-kadang menyasar ke kehidupan ekonomi rakyat kalangan menengah ke bawah, isu lingkungan pun tak luput dari perhatian. Karena merasa diri sebagai musuh kapitalisme – biasanya isu eksploitasi kaum bermodal terhadap lingkungan hidup dan praktik monopoli ekonomi menjadi lumrah untuk menjadi bahan makian – kata-kata ilmiah selalu jadi andalan untuk membuktikan akademiknya – lupa kalau asap rokok adalah salah satu sumber polusi udara – dan narkoba? Biarkan itu menjadi urusan ketika pulang ke kost masing-masing – intinya saat pintu dan jendela kost terkunci rapi tanpa celah setelah tengok kanan-tengok kiri membaca situasi – sambil membahas privatisasi dan kegagalan lembaga-lembaga tertentu tentang mekanisme ijin usaha, dsb. Tak jarang sasaran gosip adalah tentang keseharian di kampus – di sini yang pasti setiap permasalahan yang sedang dihadapinya selalu berakhir dengan kesimpulan bahwa kesalahan utama adalah system kampus dan orang yang bermain di belakang system kampus tersebut – bangun terlambat atau malas menggarap tugas hanya menjadi bahan candaan saja – tak pernah dipikirkan secara rumit seperti topik-topik lainya.
Semakin lama – suasana warkop semakin riuh, udaranya sudah berwarna putih abu-abu (bukan warna seragam yang dipakai oleh siswa SMA – siswa yang akhir-akhir ini menjadi korban pelecehan seksual dari pejabat tinggi salah satu kampus top di Surabaya (di baca: UNAIR) atau di kota-kota lainnya). Tapi merupakan warna kepulan asap rokok dari kita-kita yang tadinya doyan memaki para pencemar lingkungan. Sampah-sampah sisa makanan dan minuman pun berserakan di atas lantai atau di samping laptop yang kebanyakan berisi software bajakan dan hardware tiruan – di saat yang sama kita bercita-cita menciptakan tata kota dengan system yang aduhai sambil membahas inovasi yang tepat untuk mendaur ulang sampah dan metode pendidikan yang tepat untuk mengurangi praktik korupsi kaum elit, serta kota yang bersih dari terror begal sepeda motor. Tanpa sadar sore pun beranjak – kita tetap di warkop – tanpa berbuat apa-apa dengan tugas perkuliahan yang semakin banyak dan terbengkelai.
Saat malam menyambut para pengujung warkop pun semakin beragam. Warkop dengan ukuran 4 x 4 meter (bisa kurang) disesaki oleh mahasiswa dengan keberagaman agama, suku, ras, dan latarbelakang ekonomi keluarga. Situasi tersebut seperti aba-aba bagi kita untuk memulai membahas keberagaman Indonesia. Seperti di komando, kita akhirnya sepakat bahwa kita melawan kaum-kaum sparatis, dan kita akhirnya menjadi pribadi yang netral dalam situasi bangsa saat ini. Komando? “arti komando dalam konteks ini bukan tentang tentara yang telah melakukan pembantaian besar-besaran dan membabi buta di Aceh beberapa tahun silam – yang syarat dengan tidakan amoral, seperti: pemerkosaan, penganiayaan, dll akibat garis komando yang ada, yang telah ditanam sejak dini; atau dalam/tentang sejarah kelam PKI – tetapi tentang alam bawah sadar kita yang satu kata dalam menentang hegemoni mayoritas tertentu. Itu bagus – meskipun di warkop lain ketika kita berada dalam kelompok homogen seringkali mencari kelemahan kelompok lain. Topic keberagaman tersebut akhirnya sampai kepada “ siapa pribumi dan siapa bukan? Ah, “pribumi” kebanggaan apa yang digendong frasa ini? Frasa yang diciptakan pada masa penjajahan belanda sebagai salah satu bentuk politik adu-domba ternyata efektif menjadikan kita beragam (dibaca “berbeda”) – yang kadang-kadang berselisih paham. Frasa yang mempertegas kisah genetika dalam “kecelekaan sejarah dan lelucon biologis” (meminjam kata-kata Steve Olson, 2003 dalam Harian Kompas, 5 April 20017 yang dikutip oleh Ahmad Arif). Mari bicara kenyataan, “Afrika merupakan asal semua spesis manusia modern, Indonesia menjadi asal manusia purba Homo Floriensis yang baru-baru ini ditemukan, dan Homo Erectus atau java man, yang menunjukkan kawasan itu dihuni manusia sebelum kedatangan manusia modern” (Harian Kompas, 9 Maret 2017: 4). Anda manusia modern? Pikirkan lagi tentang sejarah anda yang merasa sebagai pribumi. Karena secara ilmiah, tidak ada alasan bagi kita untuk menjadi rasis. Ciri fisik berbeda hanyalah hasil dari adaptasi terhadap lingkungan yang berbeda (Luigi Luca Cavali-Sforza, 2000 dikutip oleh Ahmad Arif dalam Harian Kompas, 5 April 2017: 14).
Hingga akhirnya, saat waktu melampaui jam tidur – kita pun bergegas pulang dari warkop – untuk bergegas menggarap tugas kampus. Malam ini kita akhirnya begadang lagi – dan besok akan bangun kesiangan – jam 1 da 2 perkuliahan kita lewatkan – jumlah absensi semakin banyak – kita terancam untuk tidak bisa ikut UAS – artinya semester ini beberapa mata kuliah tidak lulus – yang pasti nilai tugas tidak akan membantu – kontribusinya kecil dan kenyataannya kita tidak pernah mengerjakan tugas – dan semester berikut kita akan mengulang – pada kasus lain – skripsi gagal terselesaikan – tetapi tiba-tiba kita berubah jadi kritikus – menyalahkan semua program di kampus atau setiap kebijakan dalam negara – kadang idealis – mengharamkan setiap tindakan dan pemikiran sesat – tanpa sadar kita yang tersesat. Ah warkop – banyak hayalan tentang-mu. Bicara banyak artinya budaya warkop. Budaya yang penuh dengan hayalan.

Surabaya, 6 April 2017 – mahasiswa semester tanggung.

Think again.
Peace.
Ada salam dari jeruji pekiran.

Tapi pikirkan tentang ini:

“A man who has never gone to chool may steal a freight car, but if he has university education, he may steal the whole railroad – Theodore Rooselvet”.
  

Comments

Popular posts from this blog

Irigasi: NOMENKLATUR, KEBUTUHAN DEBIT, DAN EFISIENSI IRGASI

TEKNIK SIPIL VS GAYA dan MOMEN

LAPORAN SURVEY - Lokasi Plaza Surabaya