BERPIKIR POSTIF: edisi terjun bebas

Ketika sedang mengalami hal-hal yang besar atau katakan saja sedang berada di titik terbawah kehidupan dalam perspektif kualitas hidup, frasa ini selalu muncul sebagai konsekuensi logis dari keharusan untuk bersabar, katanya. Frasa tersebut adalah 'berpikir positif' atau anak-anak milenial sering menyebutnya sebagai "positive thinking". 
Akhir-akhir ini, frasa ini berdengung hebat mengganggu keseimbangan antara rasa dan otak kiri saya. Berhasil mengusik gendang telinga, hingga merasuki otak kanan dengan berbagai pertanyaan yang kurang kreatif. Apa itu berpikir positif? Mengapa harus berpikir positif di saat definisi sistuasi kita adalah kritis bentuk hakiki dari negatif? Apa itu positif dan negatif? Apa konsekuensi yang diperoleh setelah berpikir positif? Apakah yang positif itu selalu positif atau yang negatif itu selalu negatif? 

Positif vs Negatif
Dalam realitas sosial, terutama dalam perspektif moral, nilai-nilai, dan etika sosial (agama maupun budaya), postitif dan negatif terdeteksi sebagai perilaku, karakter, atau tabiat yang disematkan kepada suatu kelompok atau individu tertentu. Penekanannya terletak pada tataran sesuai atau tidak sesuai. Jika perilaku, karakter dan atau tabiat suatu inidividu atau kelompok sesuai dengan nilai-nilai, moral, dan etika yang berlaku dalam masyarakat maka label yang diperoleh adalah positif. Contoh: orang yang berbakti kepada orang tua, rajin beribadah, rajin belajar, toleransi, dan lain-lain. Sebaliknya, individu atau kelompok akan berlabel negatif jika perilaku dan tindakannya tidak sesuai dengan nilai-nilai, atau aturan yang berlaku dan diterima secara umum dalam suatu masyarakat. Contoh: membunuh, mencuri, teroris, dan sebagainya. 
Jika hal di atas ditelusuri lebih jauh, secara khusus dalam suatu hubungan antara individu dengan individu yang lain, atau antara suatu kelompok dengan kelompok yang lain, atau antara suatu individu dengan suatu kelompok, yang positif selalu berkaitan dengan apakah suatu tindakan menguntungkan orang lain, dan selalu yang negatif adalah sesuatu yang merugikan orang lain. Artinya, dalam realitas sosial, kriteria positif dan negatif selalu berkaitan dengan orang lain atau sesuatu yang berada di luar kesatuan individu maupun kelompok.
Oleh karena itu, patut dipertanyakan: apakah substansi dari keriteria yang positif dan negatif itu? Masih relevankah yang positif dan negatif itu jika digunakan dalam hubungan seseorang dengan dirinya sendiri?
Sejauh ini, esensi antara kedua hal tersebut masih cukup buram, karena kita tidak dapat memungkiri adanya faktor lain yang ikut berpengaruh, seperti: motif, tujuan hidup, dan pengalaman di masa lalu. Apalagi, kenyataan menunjukkan bahwa, tidak semua yang dianggap positif oleh orang lain akan berpengaruh positif bagi pribadi, atau tidak semua yang dianggap positif oleh suatu pribadi berakibat postitif bagi orang lain. Namun yang pasti, pola yang terbentuk adalah sama, melulu terkait dengan untung dan rugi.
Sehingga harus disadari bahwa, jika parameter utama dari yang positif dan negatif itu adalah kebaikan bersama. Saat kebaikan bersama berada di depan, maka kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu selalu akan diabaikan, atau akan dianggap sebagai sebuah kejanggalan. Kebaikan bersama pada akhirnya memuluskan relasi antara yang individu dengan individu dan dengan kelompok tertentu. Bahkan mengabadikan relasi itu sendiri.
Hal ini semakin menarik, jika yang positif dan negatif itu dipandang dari perspektif logika matematis. Dasarnya adalah yang positif akan berdampak pada penambahan jumlah dan nilai. Yang positif akan membuat sesuatu menjadi lebih kaya. Sedangkan yang negatif pada prinsipnya juga menyebabkan pengurangan jumlah dan nilai tertentu. Tetapi, di satu sisi, logika matematis juga mengajarkan kita bahwa, yang positif maupun yang negatif tidak selalu berakhir menjadi yang positif atau negatif itu sendiri, tetapi ada kalanya menghasilkan sesuatu yang bertolak belakang dengan sifat awalnya, bergantung pada sifat dari sesuatu yang dipadankan kepada hal tersebut.
Logika tersebut adalah logika perkalian dan pembagian. Di sini sesuatu yang positif dan negatif jika dipadukan, maka hasilnya adalah yang negatif dan dua hal yang negatif jika dipadukan maka akan menghasilkan sesuatu yang positif. Anehkan? Lebih aneh lagi, jika sesuatu yang bernilai, entah positif maupun negatif akan tak bernilai atau bernilai nol (0) atau netral jika dipadukan dengan sesuatu yang tidak bernilai. 
Hal tersebut, melahirkan pertanyaan baru. Apakah kehidupan manusia secara sosial layaknya logika matematis tersebut? Sedihnya adalah Iya, jawaban yang tepat dari gambaran sosial dari jaman dulu hingga saat ini. Contoh: sesorang yang baik (bersifat positif) akan dianggap negatif jika bergaul dengan orang-orang yang dianggap negatif. Seseorang akan disebut pencuri jika bergaul dengan para pencuri, suatu kelompok akan dianggap teroris jika salah satu anggotany adalah teroris. Hal ini memberi kesadaran bahwa: masyarakat kita memiliki kecenderungan untuk mengeneralisasi. Masyarakat yang cenderung lumpuh dalam menilai yang positif dan negatif.
Pada titik ini, kesimpulan yang dapat kita utarakan adalah sesuatu yang positif tidaklah selalu berarti positif dan sebaliknya sesuatu yang negatif tidaklah selalu berarti negatif. Hal itu bergantung pada situasi yang terjadi pada lingkungan tertentu dan sejauh mana masyarakat pada lingkungan tertentu tersebut mengkritisi suatu situasi. 
Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita berpikir positif dalam suatu situasi yang negatif?

Berpikir Positif vs Realitas Negatif
Realitas negatif merupakan kondisi yang memposisikan seseorang sebagai korban dari suatu perilaku yang merugikan. Realitas ini terjadi dalam hubungan individu atau kelompok dengan dirinya sendiri, dengan individu atau kelompok lain. Realitas Negatif adalah realitas yang pernah dialami dan dihadapi oleh semua insan di dunia ini. Realitas negatif tidak lain dan tidak bukan adalah masalah itu sendiri. Hanya saja esensinya terletak pada ketajaman definisi dari Realitas Negatif. Jika masalah dipahami sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan, maka realitas negatif adalah suatu perilaku, karakter, tabiat yang tidak sesuai dengan etika, moral, dan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu sistem sosial atau suatu lembaga.
Lalu apa kaitan antara realitas negatif dengan berpikir positif?
Berpikir positif dianggap sebagai salah satu obat yang manjur dalam menghadapi penyakit yang ditularkan oleh realitas negatif, seperti: marah, benci, dan lain-lain. Berpikir positif dikemas dalam bentuk nasihat yang dipercaya dapat menyembuhkan akutnya kanker mental yang disebabkan oleh realitas negatif ini. Berpikir positif biasanya ditujukan bagi insan yang dianggap korban dari realitas negatif.
Di sini secara pribadi saya menemukan ketidaksinkronan antara nasihat berpikir positif ini dengan realitas negatif yang sedang kita alami. Saya merasa bahwa, nasihat tersebut terang-terangan melacurkan logika normal manusia. Bukankah sesuatu yang negatif akan selalu negatif jika dipaksakan untuk dipikirkan secara positif? Dan tanpa kita sadari, nasihat ini membunuh secara perlahan luapan emosi yang pada dasarnya merupakan anak kandung dari perselingkuhan antara harapan, semangat, dan realitas.
Fakta menunjukkan bahwa buah busuk dari nasihat seperti ini adalah keterpurukan. Di mana, semangat, harapan, dan sikap realistis hilang tertelan oleh keadaan. Pada akhirnya kita terbiasa untuk menerima kesewenang-wenangan sistem yang salah. Dan kitapun menjadi budak arogansi dari suatu sistem yang pada dasarnya melumpuhkan daya kritis dan mental berjuang.



Comments

Popular posts from this blog

Irigasi: NOMENKLATUR, KEBUTUHAN DEBIT, DAN EFISIENSI IRGASI

TEKNIK SIPIL VS GAYA dan MOMEN

LAPORAN SURVEY - Lokasi Plaza Surabaya