AGAMA DAN DEMOKRASI YANG CEREWET -refleksi di warung kopi-
Haruskah
kita berduka atas keberagaman? Haruskah kita menangisi sejarah yang
menciptakannya? Apakah ini yang dinamakan kecelakaan sejarah? TENTU TIDAK.
Karena
keberagaman adalah sesuatu yang harus kita syukuri. Kualitas kemanusiaan kita
teruji di atas tanah ini – tanah yang telah dibayar dengan darah oleh jutaan
pahlawan di masa silam. Darah yang telah mengalir dalam setiap akar perjuangan.
Mari tanamkan radikalisme itu untuk mempertahankan keberagaman ini.
Indonesia adalah negeri dengan sejuta pulau. Terdapat
13.460 pulau mengapung dan tersebar memenuhi nusantara. Keadaan iklimnya yang
tropis memungkinkan segala makhluk hidup bertumbuh dan berkembang secara cepat.
Ditambah sumber daya alam yang melimpah, menjadikannya negeri sejuta harapan.
Di sini, makhluk berakal budi (manusia) berkembang biak secara progresif. Hingga
tercatat 260 juta jiwa lahir di atas rahim ibu pertiwi, menjadikan Indonesia negara
dengan jumlah penduduk ke-empat terbanyak di dunia. Hal ini menarik jika dikaji
dalam kaca mata “hak hidup”. Sama menariknya membahas keberagaman yang dimiliki
oleh ratusan juta jiwa penghuni tanah nusantara ini – terutama atas musibah dan
konflik yang menyertainya.
Demokrasi
vs Keberagaman.
Besarnya jumlah pulau dalam angka pada hakikatnya
menggambarkan keberagaman yang menyertainya. Keberagaman yang lahir bukan
dengan tanpa alasan dan sejarah yang panjang.
Keadaan topografi dan iklim yang berbeda, serta tantangan
biologis dan cara beradaptasi yang berbeda, memberikan peluang yang sama untuk
berkembanganya: budaya, bahasa, suku, agama, ras, dan ciri fisik yang berbeda. Kenyataan
ini tidak dapat ditentang dengan alasan apapun. Sama halnya kita tidak bisa
menentang jika PANCASILA adalah pemersatu bangsa.
Keberagaman tersebut juga tidak terlepas dari pengaruh
bangsa-bangsa lain. Bangsa-bangsa yang datang dengan berbagai alasan, yang menanam
berbagai kepentingan dalam setiap jejaknya di bumi nusantara. Hubungan intim
dengan bangsa-bangsa tersebut mencapai klimaks dikala relasi yang dibangun
bukan lagi tentang urusan take and give.
Tetapi eksploitasi besar-besaran yang kita kenal sebagai penjajahan.
Hidup di tanah jajahan merupakan berkah bagi persatuan
Indonesia – yang harus disadari setiap insan pada generasi saat ini. Bukan
karena kita mensyukuri setiap penjajahan yanag pernah ada dulu, saat ini,
maupun yang akan datang. Tetapi lebih karena penjajahan membuat kita sadar akan
arti persatuan, seperti kata pepatah “bersatu kita teguh, bercerai kita
runtuh”. Persatuan memberikan kekuatan yang berlimpah untuk melawan – yang akhirnya
berbuah hasil pada 17 Agustus 1945. Hari ini tidak hanya dimaknai sebagai hari
kemerdekaan. Hari ini adalah hari di mana kita memutuskan untuk berjalan
bersama di bawah naungan NKRI, berlandaskan PANCASILA dan UUD 1945, dan dengan
sistem pemerintahan DEMOKRASI, serta atas ikatan BHINNEKA TUNGGAL IKA. Artinya
kita sepakat bahwa negara Indonesia tidak berdiri hanya atas dasar adanya
daerah, rakyat, dan pemerintahan, tetapi juga karena kita menerima keberagaman
kita sebagai satu Indonesia, satu bahasa, dan satu semangat yaitu bendera merah
putih.
Juga atas kenyataan bahwa keberagaman kita tidak hanya
berarti kekayaan, tetapi lebih karena konflik yang dapat diciptakannya. Konflik
yang dapat merongrong kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang dapat memecah
belah persatuan dan keutuhan. Walaupun pada kenyataanya, kemesraan tersebut
sarat dengan berbagai kepentingan yang samar-samar. Kepentingan yang menjadi
akar permasalahan pada setiap keberagaman kita – yang seharusnya dan pasti
telah disadari bersama.
Apa
yang terjadi pada demokrasi kita saat ini?
Pada mulanya, demokrasi terdefenisi sebagai suatu
sistem yang dapat mengakomodir setiap kepentingan penduduk dalam suatu negera.
Di dalamnya terkandung kesetaraan dan persamaan hak. Sebagai konsekuensi logis
dari eksistensinya yang memberikan kekuasaan penuh kepada rakyat selain
pembatasan terhadap kepentingan-kepentingan yang membeludak. Kebebasan
berpendapat merupakan daya tawar yang menjadikannya begitu terpikat, sesuatu
yang menjadi kegemaran umum bagi generasi sekarang – generasi yang kaya intrik
dan trik. Kehadiran demokrasi pada akhirnya disepakati sebagai obat dari setiap
penyakit kerakusan kepentingan – kepentingan yang melacurkan kebaikan bersama,
yang merupakan efek samping dari tumbuh kembangnya makna keberagaman.
Tetapi obat tersebut kini menjadi candu. Candu dalam
perjuangan kepentingan yang kebablasan, candu bagi dialektika dan propaganda
yang provokatif. Pada titik ini, demokrasi yang begitu ideal menjadi pincang.
Landasannya beralih dari dunia nyata ke dunia maya dengan berbagai teror hoax
di dalamnya. Yang menyebabkan demokrasi kita saat ini menjadi demokrasi bimbang.
Kadang-kadang praktik demokrasi kembali kepada praktik demokrasi seperti di
tanah asalnya Yunani (setting time: ribuan tahun silam). Di mana sistem
perbudakan dan kebebasan berjalan beriringan. Yang menjadi pembeda adalah
sistem perbudakan pada zaman ini tumbuh dalam bayang-bayang. Tidak kelihatan,
tidak bisa diraba, tetapi dampak besarnya menjalar membabi buta. Kadang-kadang
semua insan menjadi tuan perbudakan – bersamaan dengan perasaan sebagai korban
kekejaman status sosial. Di sisi lain, pada zaman yang sama, demokrasi
berkembang menjadi begitu buas. Buas dalam berpendapat, buas dalam menyatakan
kritik – yang minim solusi dan inovasi – dan berbuah sentimen sosial.
Sentiman sosial ini merajalela dan akut seperti virus
– merusak sistem logika manusia-manusia saat ini. Manusia-manusia yang
tertransformasi dari makhluk berakal budi menjadi makhluk berakal busuk. Makluk
yang lebih mempercayai hal-hal irasional ketimbang rasional. Makhluk yang
mementingkan pertumpahan darah dari pada perdamaian. Makhluk yang menjadikan
demokrasi sebagai senjata perang di atas media sosial sebagai medan perangnya.
Yang menjadikan demokrasi ini sebagai demokrasi yang cerewet. Opini-opini
sensitif dan merusak berkeliaran tidak tentu arah. Sampah-sampah hasutan
mencemari alam pikiran, menyesatkan. Sedihnya, penyesatan ini bahkan disengaja
– kita tidak lagi berbicara tentang akibat negatif dari perkembangan teknologi atau zaman. Tetapi kita menciptakan
yang negatif menjadi tuan dalam kesadaran.
Dengan kata lain, prinsip demokrasi yang memberikan
keleluasaan pada kebebasan berpendapat – khusunya dalam media sosial – berhasil
mempercundagi demokrasi itu sendiri, sehingga menjadi demokrasi yang cengeng
dan cerewet.
Agama
dan demokrasi yang cerewet.
Demokrasi yang cerewet ini menyebabkan rasionalitas tergerus
oleh opini-opini desktruktif. Intelektualitas pun menjadi budak kepentingan
ababil, serta integritas kita menjadi aksesoris politik busuk. Tetapi tetap
saja, rakyat tidak bodoh dan tuli. Menyebabkan kebanyakan para elit kebakaran
jenggot mencari metode baru. Karena terlanjur busuk, mereka hadir dengan wajah
baru dan pemain baru, pemain yang dapat di utak-atik dari belakang panggung.
Melalui pemain baru ini, mereka mempertontonkan metode baru. Metode yang memaksa
“yang transedens” ikut mengambil bagian dalam pertarungan mencari kursi.
Seperti bermain api, amarah masyarakat nusantara ini
terbakar. Ujaran kebencian mengatasnamakan agama berhamburan tak tentu arah.
Dan tak pelak lagi, kita yang masih belum dewasa dalam beriman pun terbawa
arus.
Comments