TERORISME PADA PERSPEKTIF AGAMA KATOLIK
“Terorisme
adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan
korban yang bersifat massal dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran
terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik
atau fasilitas internasional dengan motif politik, ideologi, atau gangguan
keamanan” (JawaPos.com,
Kamis, 31 Mei 2018).
Kalimat di atas
merupakan definisi terorisme yang tertuang dalam UU Antiterorisme di Indonesia.
UU yang revisinya mengalami Tarik-ulur sejak tahun 2003 ini resmi disahkan
menjadi UU setelah kejadian terorisme melanda Indonesia pada awal hingga
pertengahan Mei 2018. Pengesahan ini menjadi bukti bahwa saat ini Indonesia
berada pada situasi di mana terorisme adalah ancaman yang serius karena gerakan
dan peyebarannya yang masif. Meski terkesan lambat, pengesahan UU Antiterorisme
ini patut diapresiasi, karena dapat menjadi alat dalam menangkal terjadinya
tindakan terorisme yang berlanjut. Setidaknya Indonesia punya senjata yang
mendasar dalam menumpas tuntas tindakan terorisme.
Menjadi pertanyaannya
adalah Mengapa terorisme ini harus dilawan bahkan ditiadakan? Secara eksplisit
definisi ini menyatakan bahwa terorisme merupakan suatu bentuk tindakan yang
melawan kemanusiaan karena merupakan bagian dari tindakan kriminalitas yang bersifat
destruktif. Terorisme menyebabkan terjadinya kehilangan nyawa maupun kerusakan
lingkungan dan menimbulkan ketidaknyamanan pada hidup masyarakat luas. Bentuk
tindakan terorisme pun beragam, yang paling menakutkan adalah melalui tindakan pengeboman
atau bom bunuh diri, karena dapat merenggut banyak nyawa dan menghasilkan
kerusakan yang luar biasa dahsyat pada lingkungan sekitar. Lalu, apa motif di
balik tindakan terorisme tersebut? Apa tujuan yang ingin dicapai setelah
melakukan tindakan terorisme, mengingat oknum-oknum yang melakukan teror rela
mengorbankan nyawanya sendiri (bom bunuh diri) demi melancarkan tindakannya?
Pertanyaan-pertanyaan di atas akan bisa dipahami oleh
nalar sehat, jika ditinjau dari akar permasalahannya. Hendardi Ketua Setara
Institute dalam SINDONEWS.com (Sabtu, 26 Mei 2018) menyatakan bahwa hulu dari
terorisme adalah intoleransi. Menurutnya, “intoleransi
adalah anak tangga dari radikalisme dan kemudian terorisme”. Senada dengan
pernyataan tersebut, dalam Kompas.com (3 Juni 2017) Kepala Divisi Humas Polri
Irjen (Pol) Setyo Wasisto mengatakan bahwa “intoleransi
merupakan cikal bakal dari terorisme”. Menurutnya, jika intoleransi
dibiarkan maka akan berkembang menjadi radikalisme dan selanjutnya terorisme. Dapat
disimpulkan bahwa akar permasalahan dari tindakan terorisme adalah intoleransi dan radikalisme. Mengapa intoleransi? Apa latar belakang terjadinya
intoleransi?
Intoleransi adalah lawan kata dari toleransi.
Hasyim, Syafiq dalam Kompas.com (15 Mei 2017) mendefinisikan toleransi sebagai
hak untuk berbeda. Hasyim menekankan perbedaan tersebut terkait soal keagamaan
dan keyakinan. Sehingga, intoleransi dapat dipahami sebagai tindakan yang
membatasi hak untuk berbeda dalam berbagai bentuk cara. Jika dikaitkan dengan
agama dan keyakinan, intoleransi dapat dipahami sebagai tindakan pembenaran
terhadap agama dan keyakinan tertentu dengan tidak memberikan kebebasan bagi
pihak lain untuk memilih agama dan keyakinan lain. Atau dengan kata lain,
intoleransi adalah keengganan untuk mengakui adanya agama dan keyakinan lain,
sebagai akibat dari fanatisme keagamaan dan keyakinan yang buta. Bentuk dari
keengganan tersebut dimplementasikan ke dalam tindakan intoleransi yang
akhirnya dieksekusi melalui tindakan terorisme. Puncak dari intoleransi adalah
terorisme. Meskipun motif terorisme terkesan beragam (politik, ideology, dan
gangguan keamanan), tindakan terorisme yang terjadi di Indonesia seperti yang baru
terjadi di Surabaya pada Minggu 13 Mei 2018; dan sebagai antithesis dari
korelasi antara perbedaan agama dan keyakinan dengan intoleransi, maka dapat
dikatakan bahwa tindakan terorisme diakibatkan oleh penolakan terhadap adanya perbedaan
keagamaan dan keyakinan dalam kehidupan sosial secara internasional, nasional,
maupun local.
Jika akar dari terorisme adalah intoleransi, maka
pertanyaan besarnya adalah bagaimana cara kita menghilangkan tindakan
intoleransi, radikalisme, dan terorisme? Untuk menjawabi pertanyaan ini, kita
harus berangkat dari fakta bahwa semua agama adalah benar jika ditinjau dari
sudut pandang iman para pemeluknya. Memperdebatkan benar dan salahnya suatu
agama merupakan pekerjaan yang sangat panjang dan rumit, sepanjang sejarah
manusia itu sendiri dalam memahami misteri Ketuhanan. Perdebatan tentang agama
yang benar atau salah merupakan suatu pekerjaan yang sangat beresiko mengingat
hal tersebut dapat memperkeruh situasi dan kondisi yang terjadi saat ini dan justru
dapat menambah masalah baru. Menyadari hal tersebut maka, pada siatuasi saat
ini, yang perlu kita lakukan adalah mencari benang merah yang dapat menyambung
relasi antara agama bukan untuk mengakuisisi agama-agama apalagi mendikreditkan
agama lain.
Lalu
bagaimana cara yang tepat untuk mengaktualisasikan hal tersebut? Telah
disebtukan di atas bahwa, akar dari permasalahan terorisme adalah intoleransi,
maka secara sederhana kita harus mengemukakan cara yang tepat untuk menumbuhkan
toleransi dalam kehidupan beragama. Mengingat terjadinya intoleransi adalah
diakibatkan oleh kesalahan paradigma kita terhadap sesuatu yang berbeda, maka
yang pertama dan yang utama yang harus kita lakukan adalah mengubah cara
pandang kita terhadap agama-agama, agama lain, dan tindakan terorisme yang berlatarkan
agama. Dapat dikatakan bahwa masalah mendasar
dari terorisme terletak pada cara kita memandang agama secara internal maupun
eksternal, dan realitas perbedaan yang terjadi. Terkait pernyataan
tersebut, maka dalam tulisan yang berjudul “Terorisme pada Perspektif Agama Katolik” ini, pertanyaan mendasar
yang dapat kita ajukan adalah: Bagaimana agama katolik memandang agama dan
keyakinan lain? Dan Bagaimana agama katolik memandang eksistensi terorisme?
Agama-agama Lain dalam
Perspektif Agama Katolik
Tidak dapat disangkal bahwa, poros berdiri
tegaknya agama katolik berpijak pada pribadi Yesus Kristus. Pribadi Ilahi yang
lahir di Yerusalem pada 2000 tahun silam sebagai manusia. Selama 2000 tahun
gereja katolik berdiri tegak demi satu tujuan untuk mengabarkan kabar gembira
tentang jalan, hidup, dan kebenaran sebagai konsekuensi logis dari kelahiran
Yesus sebagai manusia. Dalam praktik keagaamaannya, gereja katolik mengacu
kepada 3 (tiga) hal tersebut yang tertuang dalam: Kitab Suci (alkitab), Tradisi
Suci, dan Magisterium Gereja.
Kitab suci merupakan pedoman hidup bagi keimanan suatu agama. Hal ini menjadi menarik untuk diperbincangkan ketika kita berada di dunia atau negara yang terdiri dari banyak agama. Sama menariknya ketika kita menggunakan apa yang terltulis di dalam kitab suci (sabda Tuhan) sebagai pijakan untuk melihat dan menilai keberadaan agama lain. Menarik karena, terkadang hal ini dapat menjadi kontroversial dalam kehidupan sosial. Paham yang salah tentang kehadiran agama lain berdasarkan apa yang tertulis dalam kitab suci dapat menyebabkan malapetaka bagi orang (keyakinan) lain. Tindakan terorisme merupakan contoh nyata dari pemahaman yang salah tentang isi kitab suci.
Lalu, bagaimana dengan
kitab suci agama katolik, khususnya pada perjanjian baru? Bagaimana sabda dan
ajaran Yesus tentang keberadaan agama lain? Berikut adalah beberapa ajaran Yesus
Kristus dalam memandang keberadaan Agama dan keyakinan lain.
Markus, 9: 38-41
“Kata Yohanes kepada Yesus: “Guru, kami lihat seorang yang bukan
pengikut kita mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah orang itu, karena ia
bukan pengikut kita.” Tetapi kata Yesus: “Jangan kamu cegah dia! Sebab tidak
seorang pun yang telah mengadakan mujizat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga
mengumpat Aku. Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita. Aku
berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa memberi kamu minum secangkir air
oleh karena kamu adalah pengikut Kristus, ia tidak akan kehilangan upahnya”.
“barangsiapa
tidak melawan kita, ia ada di pihak kita”. Secara sepintas sabda ini dapat
menimbulkan kontroversi jika dikaitkan dengan situasi keagamaan saat ini.
Betapa tidak, dalam sabda-Nya Yesus menggunakan kata “melawan” dalam menentukan
keberpihakan pada keyakinan yang diajarkan-Nya. Persepsi yang ditimbulkanya pun
beragam. Jika kita kaitkan dengan keimanan, maka bisa saja kita akan
memaknainya sebagai perintah untuk melawan siapapun yang tidak menjadi bagian
dari pengikut Yesus. Tetapi dalam sabda selanjutnya, Mrk. 9: 41, secara implisit
Yesus ingin menegaskan bahwa inti dari ajaran-Nya adalah kebaikan dan kasih.
Siapapun yang akan melakukan kebaikan meskipun bukan demi nama-Nya (bukan
pengikut-Nya) mempunyai upah atau posisi yang sama di hadapan Allah. Dengan
kata lain, Yesus mengajarkan kita bahwa siapapun yang melakukan kebaikan akan
memperoleh hak yang sama di dalam surga. Jadi dapat disimpulkan bahwa perkara
surga atau neraka bukan dijaminkan oleh agama apa yang akan kita ikuti, tetapi
kepada tindakan kebaikan yang kita lakukan kepada sesama. Berdasarkan ajaran Yesus,
Agama apapun adalah sama, sejauh mereka menjalankan keyakinan agamanya demi
kebaikan. Sehingga berdasarkan kutipan ini, dapat disimpulkan bahwa Yesus
menerima keberadaan agama dan keyakinan lain.
Yoh. 4: 5-43
Dia pun tiba di sebuah kota Samaria yang disebut Sikhar, dekat tanah
yang Yakub berikan kepada Yusuf anaknya. Di situ ada sumur Yakub. Yesus sangat lelah karena perjalanannya, maka dia duduk di
sumur itu. Saat itu kira-kira jam 12 siang. Lalu, seorang wanita Samaria datang
untuk menimba air. Yesus berkata kepadanya, “Boleh saya minta minum?” (Waktu
itu, murid-muridnya sedang pergi membeli makanan di kota). Wanita itu menjawab,
“Kamu kan orang Yahudi, dan saya wanita Samaria. Kenapa kamu minta minum dari
saya?” (Orang Yahudi biasanya tidak bergaul dengan orang Samaria). Yesus
menjawab, ”Kalau saja kamu tahu karunia dari Allahd dan siapa yang minta minum kepadamu, kamu pasti akan
minta air kepadanya, dan dia akan memberimu air kehidupan”. Wanita itu berkata,
“Bapak kan tidak punya timba, dan sumur ini dalam. Jadi dari mana Bapak bisa
mendapatkan air kehidupan itu? Yakub leluhur kami memberi kami sumur ini. Dia,
anak-anaknya, dan ternaknya juga minum dari sini. Bapak tidak lebih besar
daripada dia, kan?” Yesus menjawab, “Setiap orang yang minum air ini akan
haus lagi. Tapi siapa pun yang minum air yang akan saya berikan tidak akan
pernah haus lagi. Air yang akan saya berikan itu akan menjadi sumber air di
dalam dirinya yang menghasilkan kehidupan abadi”. Wanita itu berkata, “Pak,
berilah saya air itu, supaya saya tidak haus lagi dan tidak usah bolak-balik ke
sini untuk ambil air”. Yesus berkata, “Pergilah, panggil suamimu ke sini”. Wanita
itu berkata, “Saya tidak punya suami.” Yesus berkata, “Kata-katamu benar. Kamu
tidak punya suami. Kamu sudah punya lima suami, dan laki-laki yang sekarang
bersamamu bukan suamimu. Yang kamu katakan itu benar”. Wanita itu berkata, “Bapak
pasti nabi. Leluhur kami beribadah di gunung ini, tapi kalian bilang orang harus
beribadah di Yerusalem”. Yesus berkata
kepadanya, “Percayalah kepada saya, suatu saat nanti, kalian tidak akan
menyembah Allah di gunung ini maupun di Yerusalem. Kalian tidak mengenal siapa
yang kalian sembah. Kami mengenal siapa yang kami sembah, karena keselamatan
dimulai dengan orang Yahudi. Meski begitu, suatu saat nanti, dan bahkan
sekarang, para penyembah yang sejati akan menyembah Bapak dengan bimbingan
kuasa kudus dan sesuai dengan kebenaran, karena Bapak memang mencari
orang-orang yang ingin menyembah-Nya seperti itu. Allah itu Roh, dan orang yang
menyembah Dia harus menyembah-Nya dengan bimbingan kuasa kudus dan sesuai
dengan kebenaran”. Wanita itu berkata, “Saya tahu bahwa Mesias, yang disebut
Kristus, akan datang. Kalau dia datang, dia akan memberi tahu kami segalanya”.
Yesus berkata, “Sayalah orangnya, yang sedang bicara dengan kamu”. Saat itulah
murid-muridnya datang, dan mereka kaget melihat dia berbicara dengan seorang
wanita. Tapi, tidak ada yang bertanya untuk apa dan kenapa dia berbicara dengan
wanita itu. Kemudian wanita itu meninggalkan tempayan airnya, lalu masuk ke kota
dan memberi tahu orang-orang, “Ayo, lihatlah orang yang memberi tahu saya semua
yang pernah saya lakukan. Mungkin dialah Kristus!” Orang-orang itu pun keluar
dari kota dan mulai berdatangan kepadanya. Sementara itu, murid-murid
mendesaknya, “Rabi, ayo makan.” Tapi dia berkata, “Aku sudah punya
makanan, tapi kalian tidak tahu apa itu.” Murid-murid berkata satu sama
lain, “Memangnya tadi ada yang bawakan dia makanan?” Yesus berkata, “Makananku
adalah melakukan kehendak Dia yang mengutus aku dan menyelesaikan pekerjaan dari-Nya. Kalian bilang musim panen masih
empat bulan lagi. Tapi aku berkata kepada kalian: Lihat, ladang-ladang sudah
putih dan siap dipanen. Para penuai sudah menerima upah dan sedang
mengumpulkan buah-buah untuk kehidupan abadi, sehingga yang menabur dan yang
menuai bergembira bersama. Dalam hal ini, memang benar pepatah yang berbunyi: Yang
ini menabur dan yang itu menuai. Aku mengutus kalian untuk menuai apa
yang tidak kalian tabur. Orang-orang lain sudah bekerja keras, dan kalian
mendapat manfaat dari kerja keras mereka.” Banyak orang Samaria dari kota itu beriman kepada Yesus
karena wanita itu bersaksi dengan berkata, “Dia memberi tahu saya semua yang
pernah saya lakukan.” Maka ketika
bertemu Yesus, orang-orang Samaria itu meminta dia tinggal bersama mereka, dan
dia tinggal di sana selama dua hari. Hasilnya, ada lebih banyak lagi yang
percaya karena kata-katanya, dan mereka berkata kepada wanita itu, “Sekarang
kami percaya, bukan karena kata-katamu saja. Kami sudah dengar sendiri, dan
kami tahu bahwa orang ini memang penyelamat dunia. Setelah dua hari, dia berangkat dari
sana ke Galilea.
Kisah di atas, Yoh. 4: 5 – 43 merupakan bentuk
tindakan Yesus yang menerima keberadaan kaum lain, selain Yahudi. Hal ini
menjadi menarik, karena pada zaman itu, secara historis hubungan antara Yahudi
dan Samaria tidak berjalan dengan baik, dan faktanya bahwa sebagian besar kaum
Yahudi membenci kaum Samaria.
Apa yang dilakukan Yesus kepada seorang perempuan
Samaria dalam konteks perbedaan keyakinan saat ini menunjukkan bahwa, kebaikan
dan kebenaran itu dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak peduli dari kaum atau
agama apa yang dianut olehnya. Intinya, melulu tentang kebaikan.
Jika hal di atas, kita kaji melalui pendekatan
teologis, dapat dikatakan bahwa keselamatan dapat kita peroleh dari mana saja.
Seperti Yesus yang meminta Air sebagai sumber kehidupan kepada perempuan
Samaria. Secara simbolis dalam tradisi Gereja Katolik, Air merupakan sarana
yang dapat menyucikan (dari dosa asal), di mana ketika kita dibaptis dengan
air, maka kita akan menjadi bagian dari Tubuh dan Darah Kristus. Dalam
tindakan-Nya Yesus menunjukkan kita bahwa inti dari keselamatan itu sendiri
adalah kebaikan. Jadi sekali lagi Yesus menegaskan dalam tindakan dan
sabda-Nya, bahwa keselamatan akan diperoleh melalui jalan kebaikan, bukan
melulu tentang agama mana yang akan kita hidupi.
Kedua penggalan ayat kitab suci di atas merupakan
contoh dari sekian banyak ayat-ayat lain yang ingin menjarkan kita tentang
keselamatan dan cara beragama yang menjadi dasar biblis bagi kita (agama
katolik) untuk memandang agama lain. Jadi berdasarkan kitab suci, Gereja
Katolik mengakui keberadaan agama dan keyakinan lain, sejauh mereka menjalankan
kebaikan. Dan agama katolik tidak memilah-milah dalam perkara keselamatan.
Gereja Katolik percaya bahwa siapapun dapat membawa keselamatan bagi dirinya
sendiri maupun bagi kita. Secara implisit hal ini menyatakan bahwa, siapapun
yang melakukan kebaikan telah mengikuti ajaran dan cara hidup Yesus. Hal ini
sejalan dengan sifat Gereja yang katolik (umum/universal).
Selain kitab suci, sumber kebenaran gereja
katolik juga berdasarkan tradisi suci
dan ajaran para magisterium gereja.
Kedua hal tersebut merupakan peninggalan Yesus yang diteruskan oleh para rasul
yang diwakilkan oleh Rasul Petrus dan para penerusnya (Para Paus). Pada saat
ini, ajaran-ajaran yang mereka ajarkan dan tradisi suci yang mereka jaga
merupakan perwakilan dari eksistensi gereja katolik di dunia.
Dalam konteks pandangan Gereja Katolik tentang
hubungannya dengan keyakinan non-kristen dan kebebasan beragama, setelah
membaharui dirinya melalui Konsili Vatikan II, terdapat dua pernyataan yang
mengatur hubungan gereja katolik dengan agama lain dan kebebasan beragama. Dua
pernyataan tersebut adalah: Nostrae
Aetate yang berisi tentang hubungan gereja dengan agama-agama bukan Kristen
dan Dignitatis Humanae yang berisi
tentang Kebebasan Beragama.
Dalam Katolisitas.org (28/01/2015) Paus Paulus,
1965, terkait “Pernyataan Tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan
Kristiani” menyatakan bahwa “Gereja Katolik tidak menolak apapun yang
benar dan suci di dalam agama-agama ini (Hinduisme dan Yudaisme).
Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan
hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda
dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh
memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada
hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan
hidup” (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam
Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya”.
Terkait keyakinan agama Islam, Paus Paulus juga menyatakan bahwa “Gereja juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belaskasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia. Kaum muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetetapan Allah juga yang bersifat rahasia, seperti dahulu Abraham – iman Islam dengan sukarela mengacu kepadanya – telah menyerahkan diri kepada Allah. Memang mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah, melainkan menghormati-Nya sebagai Nabi. Mereka juga menghormati Maria Bunda-Nya yang tetap perawan, dan pada saat-saat tertentu dengan khidmat berseru kepadanya. Selain itu mereka mendambakan hari pengadilan, bila Allah akan mengganjar semua orang yang telah bangkit. Maka mereka juga menjunjung tinggi kehidupan susila, dan berbakti kepada Allah terutama dalam doa, dengan memberi sedekah dan berpuasa”.
Berdasarkan dua kutipan langsung
tersebut, maka kita dapat melihat bahwa pada zaman ini Gereja Katolik beriman
secara inklusif, di mana tetap mewartakan jalan, kebenaran dan hidup Yesus
kepada dunia tanpa menyangkal iman dan kepercayaan lain dan tetap mengakuinya
sebagai cara pendekatan diri Kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sedangkan terkait “Pernyataan Tentang
Kebebasan Beragama” dalam Dignitatis
Humanae, Paus Paulus, 1965 yang dikutip langsung dari katolisitas.org
(28/01/2015) menyatakan bahwa “Konsili vatikan ini menyatakan, bahwa pribadi manusia
berhak atas kebebasan beragama. Kebebasan itu berarti, bahwa semua orang harus
kebal terhadap paksaan dari pihak orang-orang perorangan maupun
kelompok-kelompok sosial atau kuasa manusiawi mana pun juga, sedemikian rupa,
sehingga dalam hal keagamaan tak seorang pun dipaksa untuk bertindak melawan
suara hatinya, atau dihalang-halangi untuk dalam batas-batas yang wajar
bertindak menurut suara hatinya, baik sebagai perorangan maupun dimuka umum,
baik sendiri maupun bersama dengan orang-orang lain. Selain itu Konsili
menyatakan, bahwa hak menyatakan kebebasan beragama sungguh didasarkan pada
martabat pribadi manusia, sebagaimana dikenal berkat sabda Allah yang
diwahyukan dan dengan akal-budi. Hak pribadi manusia atas kebebasan beragama
harus diakui dalam tata hukum masyarakat sedemikian rupa, sehingga menjadi hak
sipil”.
Dalam pernyataan
tersebut, Gereja Katolik Sungguh menyadari kebebasan yang dimiliki oleh setiap
orang maupun kelompok sosial. Artinya, gereja katolik menghargai perbedaan
dalam memilih agama-agama yang akan diyakini oleh orang lain. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa ajaran gereja katolik berlandaskan toleransi.
Terorisme pada Perspektif
Agama Katolik
“Barang siapa tidak
mencintai, ia tidak mengenal Allah” (1Yoh 4:8).
Kutipan
ayat kitab suci di atas merupakan dasar biblis yang dikutip oleh Paus Paulus
dalam Nostra Aetate. Kutipan ini
bukan tanpa berdasarkan pertimbangan yang matang setelah melihat situasi
manusia saat itu, terutama dalam kaitannya dengan perbedaan keyakinan dan agama.
Sabda tersebut pun menjadi relevan dengan keadaan dunia saat ini, terutama
terkait tindakan terorisme yang marak terjadi. Kutipan tersebut sekali lagi
menggelitik kita bahwa, hal yang utama dan pertama dalam kehidupan manusia
seharusnya adalah CINTA. Cinta terhadap sesama manusia berada di atas
segala-galanya. Bahkan secara tegas, dikatakan bahwa jalan yang paling radikal
dalam mengenal Allah adalah seharusnya cinta. Agama merupakan sarana untuk
menghidupkan dan menginternalisasikan cinta ke dalam dunia dan kehidupan
manusia.
Berdasarkan
cinta, maka dalam pernyataan yang sama, Paus Paulus (katolisitas.org,
28/01/2015) menyatakan bahwa “Maka Gereja mengecam setiap diskriminasi antara
orang-orang atau penganiayaan berdasarkan keturunan atau warna kulit, kondisi
hidup atau agama, sebagai berlawanan dengan semangat kristus. Oleh karena itu
Konsili suci, mengikuti jejak para Rasul kudus Petrus dan Paulus, meminta
dengan sangat kepada Umat beriman kristiani, supaya bila ini mungkin
“memelihara cara hidup yang baik diantara bangsa-bangsa bukan Yahudi” (1Ptr
2:12), dan sejauh tergantung dari mereka hidup dalam damai dengan semua orang, sehingga mereka sungguh-sungguh menjadi putera Bapa
di sorga”.
Pernyataan
tersebut, mengindikasikan bahwa betapa besar keinginan Gereja atau Agama
Katolik melihat dunia damai dan tentram. Sehingga secara jelas melalui Konsili
Vatikan II, Gereja Katolik mengecam tindakan diskrimanasi akibat adanya
perbedaan. Denga kata lain, agama katolik mengecam keras adanya tindakan
intoleransi, radikalisme, dan terorisme.
Alasan
Gereja mengecam tindakan terorisme pun cukup sederhana dan dapat dimengerti
oleh akal sehat kita. Yaitu terkait dengan cara atau jalan yang benar tentang
hidup di hadapan Allah. Cara tersebut adalah “mencintai”. Orang yang mencintai
sesamanya, berarti ia telah mengenal Allah, dan telah mematuhi perintah Allah.
Terorisme merupakan bentuk tindakan yang sangat jauh dari kata cinta. Bahkan
bisa dikatakan bahwa terorisme merupakan penghianatan yang terangan-terangan
terhadap cinta yang merupakan jalan yang dikehendaki oleh Allah.
Secara
konseptual dalam dogma-dogmanya, gereja mengakui keberadaan dan menghargai
kebebasan setiap individu dalam menentukan agama pilihannya, secara konseptual
pun gereja katolik menolak tindakan terorisme yang berlatar belakang agama dan
atau tindakan perusakan dan pembunuhan. Lalu bagaimana dalam implementasinya,
apakah gereja katolik melalui tindakan-tindakannya juga mengecam tindakan
terorisme? Apa yang terjadi jika, gereja dan symbol otoritasnya (Para Paus)
menjadi korban tindakan terorisme? Apakah mereka juga melakukan tindakan yang
sama dalam melawan tindakan terorisme tersebut?
Pada
13 Mei 1981 Paus Yohanes Paulus II ditembak oleh Mehmet Ali Agca di Lapngan St.
Petrus, Vatikan. Sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam gereja katolik
secara hirarkis, tentunya penembakan tersebut merupakan penghinaan yang paling
keji yang diterima oleh umat katolik. Namun, Paus Yohanes Paulus II sebagai
salah satu paus yang getol dalam memperjuangkan perdamaian bagi dunia justru
melakukan hal sebaliknya. Pada tahun 1983 beliau mengunjungi Mehmet dipenjara
dengan tujuan untuk memaafkan penembakan yang dilakukakan Mehmet.
Apa
yang dilakukan oleh Sri Paus Yohanes Paulus II sebenarnya ingin menunjukkan dua
hal bagi umat gereja katolik dan seluruh dunia dalam kaitannya dengan penolakan
terhadap tindakan terorisme. Pertama,
sebagai pribadi yang mengikuti jalan, hidup, dan kebenaran Yesus Kristus,
beliau telah rela dengan iklas memafkan dan mengampuni orang yang melakukan kejahatan
bagi kita. Ini merupakan contoh keimanan yang sangat matang, yang seharusnya
melekat dalam setiap insan pemeluk iman katolik. Kedua, sebagai pemegang otoritas tertinggi, Paus Yohanes Paulus II
telah menunjukkan bahwa agama katolik adalah agama yang mencintai perdamaian.
Agama yang selalu memaafkan kejahatan yang menimpa dirinya. Agama yang
menjunjung tinggi persatuan dengan siapapun dan agama manapun.
Berdasarkan
kisah Paus Yohanes Paulus II dan beberapa kisah lain, maka dalam kaitannya
dengan tindakan terorisme, gereja katolik secara terang-terangan menolaknya.
Secara implementatif penolakan tersebut dilakukan dengan beberapa cara seperti:
selalu mengabarkan perdamaaian dengan
siapapun, mengakui keberadaan agama dan keyakinan lain dan secara intim membina
persahabatan dengan mereka, serta menolak tindakan terorisme tersebut dengan
pengampunan. Karena itulah yang dilkaukan oleh Yesus Kristus sebagai kunci
dalam Iman Gereja Katolik.
Penutup
Tindakan
terorisme berakar pada intoleransi dan radikalisme. Intoleransi adalah
kengganan suatu agama untuk mengakui dan menerima eksistensi dari agama lain.
Artinya, tumbuh dan berkembangnya intoleransi, radikalisme, dan terorisme dalam
suatu agama sangat bergantung pada cara pandang mereka terhadap keberadaan agama
lain.
Agama atau
gereja katolik yang berpegang teguh pada ajaran Yesus Kristus, menolak secara
keras tindakan intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Hal tersebut
dikarenakan dalam tiga sumber kebenaran gereja katolik seperti: kitab suci,
tradisi suci, dan ajaran para magisterium gereja tidak membenarkan tindakan
tersebut, justru mengharuskan umatnya untuk selalu mengedepankan kebaikan dan
cinta kasih, serta pengampunan kepada siapapun.
SUMBER
Hasyim, Syafiq. 2017. Involusi Makna Toleransi. Kompas.com, (online), (https://nasional.kompas.com/read/2017/05/15/23025151/involusi.makna.toleransi, diakses 3 Juni 2018).
Kuwado, Fabian Januarius. 2017. Polri: Inteleransi Adalah Cikal Bakal Terorisme. Kompas.com, (online), (https://nasional.kompas.com/read/2017/06/03/13044431/polri.intoleransi.adalah.cikal.bakal.terorisme, diakses 3 Juni 2018).
Paus Paulus. 1965. Dignitatis Humane. Katolisitas.org, 28/01/2015, (online), (http://www.katolisitas.org/dignitatis-humanae/, diakses 6 Juni 2018).
Paus Paulus. 1965. Nostra Aetate. Katolisitas.org, 28/01/2015, (online), (http://www.katolisitas.org/nostra-aetate/, diakses 6 Juni 2018).
Simanjuntak, Rico Alfredo. 2018. Setara: Hulu dari Terorisme adalah Intoleransi. SINDONEWS.com, (online) (https://nasional.sindonews.com/read/1309252/13/setara-hulu-dari-terorisme-adalah-intoleransi-1527336116, diakses 31 Mei 2018).
Sryowati, Estu. 2018. Tok! DPR Resmi Sahkan Rancangan Revisi UU Terorisme. JawaPos.com, (Online), (https://www.jawapos.com/hukum-kriminal/25/05/2018/tok-dpr-resmi-sahkan-rancangan-revisi-uu-antiterorisme, diakses 31 Mei 2018).
Hasyim, Syafiq. 2017. Involusi Makna Toleransi. Kompas.com, (online), (https://nasional.kompas.com/read/2017/05/15/23025151/involusi.makna.toleransi, diakses 3 Juni 2018).
Kuwado, Fabian Januarius. 2017. Polri: Inteleransi Adalah Cikal Bakal Terorisme. Kompas.com, (online), (https://nasional.kompas.com/read/2017/06/03/13044431/polri.intoleransi.adalah.cikal.bakal.terorisme, diakses 3 Juni 2018).
Paus Paulus. 1965. Dignitatis Humane. Katolisitas.org, 28/01/2015, (online), (http://www.katolisitas.org/dignitatis-humanae/, diakses 6 Juni 2018).
Paus Paulus. 1965. Nostra Aetate. Katolisitas.org, 28/01/2015, (online), (http://www.katolisitas.org/nostra-aetate/, diakses 6 Juni 2018).
Simanjuntak, Rico Alfredo. 2018. Setara: Hulu dari Terorisme adalah Intoleransi. SINDONEWS.com, (online) (https://nasional.sindonews.com/read/1309252/13/setara-hulu-dari-terorisme-adalah-intoleransi-1527336116, diakses 31 Mei 2018).
Sryowati, Estu. 2018. Tok! DPR Resmi Sahkan Rancangan Revisi UU Terorisme. JawaPos.com, (Online), (https://www.jawapos.com/hukum-kriminal/25/05/2018/tok-dpr-resmi-sahkan-rancangan-revisi-uu-antiterorisme, diakses 31 Mei 2018).
Comments