MENDISPOSISIKAN MAKNA PUASA DALAM MASA PRA PASKAH DALAM KETERKAITANNYA DENGAN DOSA

Manusia adalah makhluk ciptaan yang paling unik, karena diciptakan seperti gambaran dan rupa Allah sebagai Sang Pencipta. Manusia adalah Citra Allah. Manusia memiliki akal budi dan kesadaran penuh atas dirinya sendiri. Hal ini menjadi pembeda yang jelas antara manusia dengan makhluk ciptaan lain. Manusia mempunyai kehendak bebas dalam memutuskan hal-hal yang akan dilaksanakanya. Hal ini sejalan dengan pandangan Gereja Katolik tentang martabat manusia. Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK, 1700), dijelaskan bahwa:

Martabat manusia berakar dalam penciptaannya menurut citra dan rupa Allah; ia disempumrnakan dalam panggilannya ke dalam kebahagiaan Allah.Tugas manusia ialah menyongsong penyempurnaan itu dalam kebebasan. Oleh tindakan-tindakannya yang sadar, manusia mengikuti yang baik yang dijanjikan Allah dan disaksikan hati nuraninya atau ia melawannya. Manusia memberi sumbangan tersendiri untuk pertumbuhan batinnya; ia memakai seluruh kemampuan cita rasa dan rohnya sebagai sarana demi pertumbuhan ini. Dengan bantuan rahmat, ia tumbuh dalam kebajikan, menjauhkan dosa dan menyerahkan diri, setelah ia berdosa, kepada kerahiman Bapa surgawinya seperti anak yang hilang.Dengan demikian, ia memperoleh cinta kasih yang sempurna.

Kutipan di atas, secara eksplisit menjelaskan tentang tugas manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, yaitu untuk menjalankan perintah Allah. Konsekuensinya pun jelas yaitu: dosa dan cinta kasih yang sempurna. Jika manusia memilih menjalankan perintah Allah, maka sesuai janji Allah, manusia akan memperoleh cinta kasih yang sempurna. Sebaliknya, jika manusia melawan tugas yang telah di anugerahkan kepadanya, maka manusia akan jatuh dalam dosa. Menjadi pertanyaan, apakah jalan satu-satunya menuju kebahagiaan yang sempurna adalah Jalan yang telah ditentukan Allah? Apakah Allah egois, sehingga menciptakan manusia demi menjalankan tugas yang diberikan-Nya?
Jalan Allah adalah kebaikan. Segala sesuatu yang baik adalah jalan menuju kebahagiaan yang dijanjikan Allah, di mana di dalamnya terkandung cinta kasih yang sempurna. Melawan perintah Allah berarti melawan arti kebaikan itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “baik” diartikan sebagai: elok, patut, teratur dan “kebaikan” diartikan sebagai: sifat baik, perbuatan baik, atau sifat manusia yang dianggap baik menurut aturan dan norma yang berlaku (https://www.kbbi.web.id/). Baik atau kebaikan selalu berlawanan dengan “jahat” atau “kejahatan” atau sesuatu yang bersifat merusak. Membunuh adalah perbuatan yang jahat, karena dapat menimbulkan kerusakan dalam tatanan social masyarakat, sama halnya dengan memfitnah, berzinah, dll. Dan semua itu bertentangan dengan ajaran atau Tugas dari Allah kepada manusia. Atau dalam tradisi Gereja Katolik, berlawanan dengan perintah Allah yang terangkum dalam 10 Perintah Allah. Sehingga, dapat dikatakan bahwa Tugas dari Allah atau menjalankan perintah Allah adalah merupakan berkah yang luar biasa dari Allah, demi kebaikan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, jalan satu-satunya menuju kebahagian sempurna/sejati adalah jalan yang telah digariskan oleh Allah kepada manusia.
Pada kenyataanya, kita banyak menyaksikan peperangan, pertumpahan darah, perkelahian, pembantaian, permusuhan, dan hal-hal yang merusak lainnya, yang mencerminkan kerusakan tatanan social masyarakat kita saat ini. Hal ini sejalan dengan pernyataan Pius XII, yang dikutip oleh Tim Komsos Paroki SMTB, 2018:1; bahwa: tragedy dari zaman kita adalah bahwa ia sudah kehilangan rasa dosanya, kesadaran akan dosa”. Apa yang dimaksudkan oleh Pius XII bagi saya menjadi relevan dengan keadaan manusia saat ini. Dengan kehendak bebasnya, manusia telah berkali-kali jatuh dalam dosa. Meskipun demikian, seperaba besar dan berat dosa manusia, Kasih Allah selalu lebih besar. Allah selalu menyediakan keselamatan bagi umat-Nya.
Dalam iman Gereja Katolik, Allah melalui Yesus Kristus, telah menawarkan keselamatan itu secara cuma-cuma. Demi mencapai keselamatan, yang perlu dilakukan oleh manusia adalah bertobat. Keselamatan akan diperoleh melalui jalan pertobatan. Yesus adalah jalan pertobatan itu sendiri.Dalam Gereja Katolik, sejak Hari Raya Rabu Abu hingga Kamis Putih, umat Gereja Katolik di seluruh dunia memasuki babak baru yang disebut sebagai masa pra paskah yang dijalankan selama 40 hari. Masa pra paskah dalam internal Gereja Katolik dikenal sebagai masa pertobatan atau biasa disebut sebagai masa rekonsiliasi. Pada masa ini, umat katolik secara universal di ajak untuk menjalankan sakramen perotabatan atau sakramen rekonsiliasi, dengan tujuan untuk membersihakan diri dari dosa-dosa yang telah dilakukannya. Dalam masa pra paskah, demi membersihkan diri dari dosa, umat katolik ditawarkan untuk berpuasa dan berpantang. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah: mengapa harus berpantang dan berpuasa? Apa korelasi antara dosa dan puasa/mati raga, sehingga jalan pertobatan itu ditempuh dengan jalan puasa? Bagaimana posisi Yesus sebagai sang Penyelemat dalam tradisi puasa tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut relevan dengan permasalahan yang sering merasuki pemikiran orang-orang beragama, seperti: Apakah dosa itu? Apakah puasa/mati raga itu? Bagaimana relasi antara dosa dan puasa/mati raga itu dijelaskan secara konseptual/teoritis/akademis? Di manakah posisi Yesus Kristus sebagai Sang Penebus dalam relasi antara dosa dan puasa/mati raga? dan Apa arti kebangkitan kristus dalam konteks dosa?

Dosa
Dalam perjalanan kehidupan umat beragama, tak terkecuali umat katolik, tema tentang dosasering dibicarakan atau dibahas,baik secara konseptual maupun praksis. Pertanyaan-pertanyaan tentang dosa juga beragam. Apa itu dosa? Siapa yang menentukan keberdosaan manusia? Apa akibat dari dosa? Dari mana datangnya dosa? Bagaimana membedakan tindakan dosa dan tidak? Mengapa harus takut terhadap dosa? Bagaimana caranya supaya manusia tidak berdosa? Bagaimana cara membersihkan diri dari dosa? Apakah dosa itu bisa diampuni? Apakah dosa bersifat abadi dan melekat dalam diri manusia? Apa relasi antara ajaran agama dan dosa? Dll. Tentunya, menjadi pekerjaan rumah yang sangat Panjang dan melelahkan jika menjawabi pertanyaan-pertanyaan tersebut satu persatu. Dalam usaha menjawabi pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka pada bagian ini akan dijelaskan terkait definisi dosa berdasarkan dogma atau ajaran Gereja Katolik.
Menurut Katekismus Gereja Katolik, artikel 386-389: 61-62; dosa memiliki kaitan erat dengan wahyu. Seperti yang telah kita ketahui bahwa, wahyu adalah anugerah cuma-cuma dari Allah kepada manusia. Atas dasar wahyu, maka manusia dapat mengenal atau memiliki pengetahuan tentang Allah. Karena pengetahuan itu, maka manusia menjadi mengerti dan menyadari asal-usulnya, serta menyadari konsekuensi logis dari eksistensinya di dunia, yaitu menjalankan tugas Allah yang pada hakikatnya adalah baik. Pengenalan ini membentuk sebuah hubungan intim atau meminjam kata yang digunakan Katekismus Gereja Katolik, hubungan yang mendalam antara manusia dan Allah. Hubungan ini terindikasi dari perbuatan-perbuatan baik manusia. Perbuatan-perbuatan yang ditandai dengan cinta dan kebahagiaan. Jika sewaktu-waktu, manusia melakukan sesuatu perbuatan yang berakibat jahat bagi manusia lain, diri sendiri, maupun lingkungan, di situ, manusia telah merusak relasi yang harmonis antara Allah dan manusia. Saat relasi itu menjadi rusak, maka dengan sendirinya dosa bersemi di dalam diri manusia. Sehinga dapat dikatakan bahwa, dalam tradisi dan iman gereja katolik dosa diartikan sebagai retaknya hubungan antara manusia dan Allah.
Namun, harus ditegaskan bahwa, keretakan hubungan ini bukan merupakan kehendak atau keinginan Allah. Karena pada hakikatnya, Allah selalu menawarkan cinta kasih-Nya kepada manusia. Dosa disimbolkan sebagai kegelepan, sebaliknya berkat dan cinta kasih Allah selalu disimbolkan sebagai terang. Dalam iman gereja katolik, terang itu selalu hadir dalam kehidupan manusia. Yang menjadi pertanyaan adalah, jika cinta kasih dan berkat Allah selalu ada dalam diri manusia, kapan dosa itu akan menguasai diri manusia? Pertanyaan tersebut melahirkan pertanyaan lain seperti: apakah dosa itu? Apakah dosa yang disimbolkan sebagai yang jahat merupakan sebuah anugerah atau merupakan akibat? Dosa adalah sebuah situasi, di mana manusia berada dalam kegelapan dalam artian kejahatan. Gelap ada, karena tidak adanya terang. Keberadaan dosa dapat diibaratkan seperti seorang manusia yang berada dalam gua. Faktanya, tanpa adanya cahaya, gua akan menjadi gelap, karena gelombang cahaya dihalangi oleh sisi atau permukaan luar sebuah gua. Jika sisi tersebut tidak ada, maka dengan sendirinya cahaya akan masuk ke dalam goa. Jika isi gua diibaratkan sebagai hati manusia, dan permukaan gua merupakan kehendak bebasnya, maka dapat dikatakan bahwa cinta kasih dan berkat Allah mempunyai kecendrungan untuk memenuhi hati manusia, tetapi kehendak bebas manusia yang dapat memutuskan apakah ia mau menerima berkat itu atau menolaknya. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa, dosa adalah menjauhnya manusia atas kehendak bebasnya dari rahmat dan cinta kasih Allah. Artinya, dosa merupakan sebuah bentuk perlawanan dari manusia terhadap Allah. Atau secara tegas, gereja katolik menyatakan bahwa dosa adalah penolakan terhadap Allah.

Dosa Asal
Dalam tradisi Gereja Katolik, sakramen pembaptisan menjadi sangat penting peranya bagi umat. Sakramen pembaptisan, tidak hanya merupakan sebuah tradisi yang menandakan seorang manusia telah masuk menjadi anggota Gereja, tetapi lebih dari itu merupakan sebuah ritus yang dipercaya dapat membebaskan manusia dari dosa asal. Dosa asal adalah dosa yang diwariskan oleh manusia pertama Adam dan Hawa kepada umat manusia. Dosa asal dianggap telah melekat dalam diri manusia sejak dia lahir.
Menurut Katekismus Gereja Katolik-402-406: 64-64; dosa asal menyebabkan adanya kencendrungan dalam diri manusia untuk berbuat jahat. Kecendrungan yang menunjukkan keinginan manusia untuk mendahulukan kemanusiaanya dari pada Allah. Karena merupakan dosa warisan, maka dua hal yang ingin dikatakan dengan adanya dosa asal ini adalah: (1) manusia sebagai keturunan Adam dan Hawa telah menanggung dosa yang tidak pernah dilakukannya. (2) keberadaan dosa ini dapat dihapus, jika manusia menjadi murid kristus melalui ritus pembaptisan.

Dosa Berat dan Dosa Ringan
Selain dosa asal, tradisi iman Gereja Katolik juga mengenal yang Namanya dosa berat dan dosa ringan. Berdasarkan uraian Tim Komsos Paroki SMTB, 2018: 4-14; kategorisasi atas dosa berat dan ringan didasarkan pada beberapa hal seperti: a) kualitas atau bentuk tindakan manusia yang dianggap melawan perintah Allah. Jika manusia melawan perintah Allah secara terang-terangan dan dengan kesadaran penuh, maka apa yang dilakukannya dikategorikan sebagai dosa berat. Contoh dari tindakan ini adalah penyembahan berhala atau dalam tradisi gerja katolik adalah tidak melakukan 10 perintah Allah secara sengaja. Sedangkan, jika seorang manusia, melakukan sesuatu tindakan dosa tanpa sadar, maka hal tersebut dikategorikan sebagai dosa ringan; b) intensitas tindakan manusia dalam dosa. Contoh dari tindakan dosa ringan ini adalah misalkan manusia mencintai jalan Allah, tetapi tidak dengan segenap hati.

Puasa/Mati Raga
Dalam Gereja Katlolik, puasa tidak bisa lepas dari sakramen rekonsiliasi. Keduanya, bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan atau tidak dapat berdiri sendiri. Artinya, puasa akan bermakna jika dimaknai dari kaca mata sakramen rekonsiliasi. Oleh karena itu, sebelum memaknai puasa, sagatlah penting bagi kita untuk memaknai sakramen rekonsiliasi atau sakramen pertobatan. Pertanyaannya adalah, apa itu sakramen rekonsiliasi? Dan apa relasi antara sakramen rekonsiliasi dan puasa?
Menurut Paus Fransiskus yang dikutip oleh katolisitas.org, rekonsiliasi digambarkan sebagai suatu bentuk kerelaan Allah melalui Yesus Kristus untuk menerima dosa-dosa manusia. Kerelan tersebut, terbukti dari penjelmaan-Nya menjadi manusia. Secara tegas, Paus Fransiskus menyatakan bahwa pengakuan dosa yang kita lakukan bukanlah bagian dari pertemuan dengan Allah dengan maksud Allah mengampuni kita. Tetapi dalam pengakuan itu kita pada dasarnya telah mengakui bahwa Yesus sekali lagi jatuh dalam dosa. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa masa rekonsiliasi adalah masa di mana kita orang yang percaya kepada Kristus menyerahkan segala dosa kita pada Yesus untuk sekali lagi di tebus. Artinya, makna kesengsaraan Yesus selalu berulang setiap kali kita melakukan dosa. Dengan kata lain, pilar dari sakramen rekonsiliasi adalah penebusan dosa-dosa kita oleh Yesus.
Jika demikian, tentunya kita bertanya: mengapa dalam masa penyerahan dosa-dosa kita kepada kristus, kita harus berpuasa dan berpantang? Dalam katolisitas.org, 2017, dikatakan bahwa berpuasa dan berpantang adalah latihan rohani bagi kita untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan sesaman. Bagi saya, pernyataan ini akan sulit dipahami ketika kita tidak mengetahui makna dari kejatuhan manusia pertama pada dosa (dosa asal) dan makna dibalik penjelmaan Yesus menjadi manusia. Dalam refleksi saya, jatuhnya Adam dan Hawa kepada dosa dikarenakan secara manusiawi mereka tidak dapat tahan terhadap godaan lahiriah dan fisik manusia, yang menyebabkan manusia kehilangan rahmat kekudusan dan terpisah dari Allah. Berdasarkan hal tersebut, maka menjadi masuk akal ketika dalam tradisi gereja katolik, masa rekonsiliasi dikenal juga sebagai masa puasa dan pantang. Karena dengan puasa, manusia akan melatih ragawinya untuk mengendalikan nafsu duniawi atau badani.

Relasi Antara Dosa dan Puasa/Mati Raga
Seperti yang telah dikatakan di atas, puasa adalah sebuah kewajiban roahani bagi umat nasrani. Kewajiban ini merupakan sebuah bentuk penyangkalan terhadap dorongan badaniah atau godaan. Hal ini tidak berarti bahwa, sesuatu yang berkaitan dengan badaniah adalah dosa. Tetapi lebih kepada mengontrol kecendrungan dari dalam diri. Secara radikal Yesus dalam Lukas 4: 4, telah menyatakan bahwa “manusia bukan hidup dari roti saja”. Hal ini menjadi dasar biblis tentang arti puasa itu sendiri. Dalam Lukas 4: 1-13, dorongan badaniah digambarkan sebagai iblis. Dalam pandangan Gereja Katolik, iblis merupakan pintu godaan terhadap keberdosaan manusia. Dengan kata lain, puasa merupakan suatu bentuk radikal dari usaha manusia untuk selalu dekat dengan Tuhan. Puasa merupakan bentuk relasi yang baik antara manusia dengan Allah.
Hal tersebut bersifat kontradiktif dengan dosa itu sendiri. Jika dosa merupakan retaknya hubungan antara manusia dan Allah, maka puasa adalah relasi yang intim dari manusia dan Allah. Dapat disimpulkan bahwa, dosa dan puasa membentuk sebuah hubungan atau relasi yang bertentangan. Dengan kata lain, cara yang digunakan oleh umat nasrani dalam membebaskan dirinya dari dosa adalah dengan berpuasa/mati raga.

Yesus Kristus Sang Penebus dan Posisinya dalam Relasi Antara Dosa dan Puasa/Mati Raga
Seperti yang dikatakan oleh Paus Fransiskus, Yesus hadir di dunia untuk mengalami dosa dan menebus dosa manusia tersebut. Sebagai manusia, Yesus mengalami fenomena kemanusiaan, seperti dorongan duniawi dan badaniah. Sebagai penebus, Yesus mengorbankan diri-Nya untuk mengalami kesengsaraan dan wafat untuk menyelamatkan manusia.
Dalam Lukas 4: 1-13 Yesus menunjukkan bahwa sebagai manusia Dia dicobai oleh dorongan duniawi. Dan secara tegas, Dia juga menunjukkan bahwa sebagai manusia Dia dapat mengendalikan cobaan tersebut dan menyatakan tidak dengan kehendak bebas-Nya. Cara yang ditempuh oleh Yesus adalah dengan berpuasa, yang secara eksplisit dengan menahan lapar. Lapar merupakan contoh dorongan badaniah manusia. Sehingga jelas, dalam relasi antara dosa dan puasa, Yesus berposisi sebagai manusia yang lemah tetapi dapat menolak keberdosaan-Nya.
Yesus merupakan perantara dari relasi antara manusia dan Allah. Dalam relasi tersebut Yesus adalah puasa itu sendiri, karena Dia dapat menyangkal dorongan kemanusiaan-Nya (duniawi). Dapat disimpulkan bahwa, jika manusia ingin luput dari dosa dan memperbaiki hubungan-Nya dengan Allah, maka manusia harus mengikuti jalan yang sudah ditunjukkan oleh Yesus atau dengan kata lain dengan melakukan mati raga/puasa.

Kebangkitan Kristus VS Dosa
Kebangkitan Kristus merupakan bagian terpenting dari misteri penebusan-Nya. Dengan bangkit, Yesus menghancurkan kuasa kegelapan atau dosa dari manusia. Dengan kata lain, melalui kebangkitan, Yesus telah menang atas dosa.
Melalui kebangkitan Yesus mengantarkan umat-Nya ke kehidupan yang kekal dan abadi. Kehidupan ini merupakan janji Allah kepada Manusia. Dengan kata lain, melalui kebangkitan, Yesus telah memperbaiki hubungan antara Manusia dan Allah yang sudah retak.
Sehingga, dengan tegas, dapat dikatakan bahwa, melalui sengsara, wafat, dan kebangkitan-Nya, Yesus pada dasarnya menjelaskan kepada manusia, terhadap tugas yang diberikan Allah. Melalui sengsara, Yesus ingin menunjukkan bahwa kesempurnaan cinta kasih Allah, dapat dicapai jika kita dapat mengalahkan godaan badaniah. Melalui kesengsaraan-Nya Yesus menannggung beban dari dosa-dosa manusia, sebagai bukti dari cinta kasih sempurna Allah terhadap manusia. Dengan wafat Yesus telah menebus semua dosa manusia. Dan dengan kebangkitan-Nya, Yesus telah menebus dan menyelamatkan manusia dari kuasa dosa atau kegelapan.

Penutup
Dosa adalah bentuk perlawanan terhadap rahmat Allah.Perlawanan tersebut ditandai oleh tindakan yang merusak. Merusakan hubungan manusia dengan Allah, merusak hubungan manusia dengan martbatnya, merusak hubungan antara manusia dengan manusia lain, dan merusak hubungan antara manusia dengan lingkungannya.Rekonsiliasi atau pertobatan adalah usaha memperbaiki hubungan yang telah rusak. Salah satu caranya adalah dengan melakukan puasa/mati raga.Yesus Sang JuruSelamat melalui kebangkitannya, telah mengalahkan kegelapan sebagai symbol dari dosa dan kejahatan. Dalam sengsara dan wafatnya, Yesus mengajarkan kita bahwa sangat penting untuk mengontrol hal-hal badani, demi memperoleh hidup yang kekal. Jalan Puasa adalah Jalan Yesus di dunia.

Sumber
Alkitab.
Anonym. 2013. Kehidupan Kristiani Mewartakan Jalan Menuju Rekonsiliasi Dengan Allah.Katolisitas.org (online), 26/11/2013 (http://www.katolisitas.org/kehidupan-kristiani-mewartakan-jalan-menuju-rekonsiliasi-dengan-allah/, diakses 15 Maret 2018).
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tanpa tahun. (online), (https://www.kbbi.web.id, diakses 13 Maret 2018).
Katekismus Gereja Katolik.
Tim Komsos Paroki SMTB. 2018. Bahan Pemeriksaan Batin untuk Persiapan Sakramen Rekonsiliasi. Surabaya: Paroki SMTB.

Comments

Popular posts from this blog

Irigasi: NOMENKLATUR, KEBUTUHAN DEBIT, DAN EFISIENSI IRGASI

TEKNIK SIPIL VS GAYA dan MOMEN

LAPORAN SURVEY - Lokasi Plaza Surabaya