MENDIALOGKAN PERBEDAAN DAN PERSAMAAN AGAMA-AGAMA KEPADA GENERASI MUDA: SEBUAH REFLEKSI DARI KACA MATA KATOLIK
Bangsa yang besar
adalah bangsa yang mengakui keberadaan dan peran generasi muda dalam sejarahnya.
Generasi muda merupakan agen perubahan dalam perjalanan sebuah bangsa ke arah
yang lebih baik, sejahtera, dan damai. Keadaan generasi muda saat ini merupakan
cerminan situasi bangsa atau negara di masa depan. Hal ini tidak dapat
dipungkiri, karena faktanya banyak perubahan atau revolusi besar yang pernah
terjadi di dunia diaktori oleh kaum muda. Eksistensi generasi muda dapat
menumbangkan sebuah rezim yang otoriter sekalipun. Dalam sejarah Indonesia,
peran kaum muda sangatlah krusial. Tahun 1928, kaum muda Indonesia telah
menunjukkan eksistensinya melalui Sumpah Pemuda, yang menjadi bukti otentik
akan lahirnya bangsa Indonesia dan tertanamnya benih persatuan bangsa. Kaum
muda Indonesia pun mengambil peranan penting akan eksistensi Indonesia sebagai
negara merdeka melalui Peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Lalu
dilanjutkan dengan revolusi besar yang berhasil menggulingkan rezim Orde Baru
dan menjadi tanda kelahiran Era Reformasi pada tahun 1998. Hal-hal tersebut
merupakan sedikit dari tindakan kaum muda yang membuktikan dirinya sebagai
pelopor dalam sebuah revolusi. Revolusi yang diharapkan selalu melahirkan
sesuatu yang baru demi perkembangan bangsa ke arah yang positif. Hal ini
membuktikan bahwa generasi muda merupakan aset negara yang tidak bisa diabaikan
begitu saja. Keterlibatan kaum muda menjadi sangat penting untuk dinyatakan
dalam setiap kebijakan negara saat ini. Karena pada hakikatnya, masa depan
bangsa berada pada tangan-tangan dan pergerakan kaum mudanya. Selain karena,
golongan tua tidaklah abadi, juga karena ide dan paradigma mereka yang selalu
segar dan baru, yang relevan terhadap perkembangan zaman.
Tetapi apa jadinya,
jika peran kaum muda justru mejadi pemicu dari sebuah perubahan yang brsifat
dekstruktif? Saat ini, Indonesia sebagai negara beragam mengalami guncangan
akibat retaknya kohesi social di antara masyarakt beragama. Di mana-mana,
masalah intoleransi muncul ke permukaan, yang menyebabkan konflik horizontal
antar masyarakat. Beberapa tahun terakhir, masalah radikaslisme, ekstrimisme,
intoleransi, dan terorisme berhasil merusak tatanan public yang mengedepankan
Pancasila. Fenomena tersebut cukup mengkhawatirkan, karena dapat menghilangkan
rasa perdamaian antara masyarakat yang nota bene memiliki perbedaan dalam hal
keyakinan. Mirisnya, gerajakan anti-Pancasila dan radikalisme yang terjadi
akhir-akhir ini, terjadi secara massif dikalangan kaum muda (mahasiswa).
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and
Consulting (SMRC) (dalam Jawa Pos, 27 Oktober 2017) benih radikalisme di kalangan
kaum muda (siswa/mahasiswa) Indonesia berada dalam tahap mengkhawatirkan.
Menurut data hasil survey tersebut seperti yang dipublikasikan oleh Jawa Pos,
terdapat 40,82 persen responden yang menyatakan bersedia dan 8,16 persen
menyatakan sangat bersedia untuk melakukan penyerangan terhadap orang atau
kelompok yang dianggap menghina Islam. Hal yang sama juga dikatakan oleh
Direktur Wahid Institute Yenny Wahid. Beliau mengatakan bahwa “karakteristik
kelompok radikal di Indonesia pada umumnya masih muda dan laki-laki”.
Berdasarkan pernyataanya dalam Jawa Pos, 27 Oktober 2017, dapat diketahui bahwa
tingginya persentase kaum muda yang bersedia melakukan tindakan radikal
disebabkan karena tingginya informasi keagamaan tentang kecurigaan dan
kebencian. Juga dikarenakan sempitnya pemahaman terhadap agama. Menurut beliau
para kaum muda yang bersangkutan mempunyai kecenderungan dalam memahami ajaran
agama tentang materi jihad dan perang. Dalam laporan yang sama, juga dikatakan
bahwa menurut hasil survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT),
terdapat 39 persen mahasiswa di 15 provinsi di Indonesia tertarik pada paham
radikal. Sebagai kesimpulan dari laporan tersebut, dapat diketahui bahwa
generasi muda adalah target dari peyebaran radikalisme. Hal ini membuktikan
bahwa kampus merupakan tempat yang strategis dalam penyebaran paham radikalisme
(Jawa Pos, 27 Oktober 2017).
Berdasarkan uraian di
atas, maka dapat dikatakan bahwa, kau muda (mahasiswa) berada dalam keadaan
darurat tindakan radikalisme. Kerentanan ini merupakan akibat dari lemahnya
atau sempintya pemahaman kaum muda tentang agama-agama. Oleh karena itu,
kegiatan dialog tentang perbedaan dan persamaan agama-agama menjadi sangat
penting untuk dilakukan saat ini. Sehingga dalam makalah yang berjudul “Mendialogkan
Perbedan dan Persamaan Agama-agama Kepada Generasi Muda: Sebuah Refleksi dari
Kaca Mata Katolik” ini bermaksud untuk memperkuat pemahaman kaum muda
(mahasiswa) tentang agama-agama dan eksistensinya terhadap peradaban manusia.
Juga secara khusus kepada mahasiswa katolik, untuk mengetahui persamaan dan
perbedaan agama katolik dengan agama lain, sehingga mereka tidak terjebak dalam
arus radikalisasi yang terjadi dalam lingkup kaum muda saat ini. Apakah perbedaan
dan persamaan antara agama katolik dengan agama-agama lain? Bagaimanakah cara
mendialogkan perbedaan dan persamaan agama katolik dengan agama-agama lain pada
tataran konseptual/dogmatis dan factual/praktis? Seperti apakah
gambaran ideal/teoritis dari kegiatan dialog agama-agama di masyarakat
kampus/kelas?
A. Perbedaan
dan Persamaan Agama Katolik dengan Agama Lain
1.
Agama
Menurut
Hans Kung yang dikutip oleh St. Sunardi (dalam Sumartana, dkk., 1993: 65-67)
agama sulit didefenisikan sebagaimana seni. Karena menurutnya agama tidak untuk
didefenisikan, apalagi untuk diperdebatkan tetapi untuk dihidupi dan dihayati.
Menurutnya, menerangkan agama sama rumitnya dalam menerangkan “Allah” dan
“Waktu”. Tetapi meskipun demikian, St. Sunardi menyimpulkan apa yang menjadi
unsur-unsur pemikiran Kung yang dapat dinyatakan seperti: “agama adalah hidup
yang dihayati, bukan merupakan sesuatu yang menyangkut teori-teori; agama menyangkut
sikap yang mempercayai hidup, pendekatan terhadap hidup, cara hidup, dan yang
palin penting adalah menyangkut soal relasi atau perjumpaan dengan the holy (sesuatu yang kudus). Agama
selalu menyangkut basic trust seseorang
akan hidup; menyangkut “Ya” atau “Tidak” pada hidup”. Menurut Kung, “agama
memberikan makna yang komprehensif akan hidup, menjadi jaminan bagi nilai-nilai
tertinggi dan norma-norma yang bersifat tanpa syarat, memberikan komunitas dan
“rumah” rohani”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa agama merupakan sesuatu yang
telah menjadi bagian dari diri manusia, yang menjadi pedoman dalam hidup,
khususnya dalam hubungan dengan sesuatu yang kudus. Agama bukanlah sesuatu yang
dimiliki, tetapi sesuatu yang dihayati.
Berbeda
dengan Kung, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) agama diartikan sebagai
“ajaran, system yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan
kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta manusia dan lingkungannya (https://www.kbbi.web.id). Secara impilisit, pengertian agama menurut KBBI ini
pada dasarnya menjelaskan tentang dimensi agama itu sendiri. Di satu sisi,
agama diartikan sebagai system social yang mengatur bagaimana relasi antar
manusia dan antara manusia dan lingkungan yang dilandaskan pada ajaran yang
diturunkan oleh Tuhan Yang Mahaesa. Di sisi lain, seperti yang dikatakan Kung
di atas, agama merupakan bagian yang tak terpisahkan dari manusia itu sendiri terhadap
relasinya dengan Sang Pencipta (Tuhan). Pengertian ini mempunyai kaitan dengan
definisi agama jika dipandang dari aspek etimologisnya. Muhammaddin, 2013: 101;
menjelaskan bahwa: “secara etimologis agama berarti peraturan-peraturan
tradisional, ajaran-ajaran, kumpulan-kumpulan hokum yang turun temurun dan
ditentukan oleh adat kebiasaan. Agama berasal dari suku kata “a” yang berarti
tidak dan “gama” yang berarti kacau, sehingga agama secara arti kata berarti
“tidak kacau”. Sedangkan menurut kamus Webster yang dikutip oleh
katolisitas.org, 2017;
"Religion, in its most comprehensive sense,
includes a belief in the being and perfections of God, in the revelation of his
will to man, in man’s obligation to obey his commands, in a state of reward and
punishment, and in man’s accountableness to God; and also true godliness or
piety of life, with the practice of all moral duties. It therefore comprehends
theology, as a system of doctrines or principles, as well as practical piety;
for the practice of moral duties without a belief in a divine lawgiver, and
without reference to his will or commands, is not religion.”
Dalam Glossary Katekismus Gereja Katolik dikatakan
bahwa agama adalah “A set of beliefs and practices followed by those committed to the
service and worship of God. The first commandment requires us to believe in
God, to worship and serve him, as the first duty of the virtue of religion.
Atau Satu perangkat kepercayaan dan tindakan yang diikuti oleh
mereka yang berkomitmen untuk melayani dan menyembah Allah. Perintah pertama
menuntut kita untuk percaya pada Tuhan, untuk menyembah dan melayani Dia,
sebagai tugas pertama dari kebajikan agama” (http://www.katolisitas.org/definisi-agama-keprihatinan-dan-tantangannya/). Di sini, agama ditekan sebagai relasi antara manusia dan
Allah. Di mana, manusia dapat mengenal Allah melalui iman dan kepercayaan.
Sikap manusia dalam pengenalan ini dengan cara mengakui keberadaan Tuhan Allah
sebagai pencipta dan dengan menjalankan ajaran yang dianggap wahyu.
2.
Agama Katolik
Seperti
yang didefinisikan di atas, agama merupakan system social yang didasari oleh
iman dan kepercayaan terhadap Tuhan, di mana manusia sebagai bagiannya
menyerahkan dirinya ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, dengan cara menjalankan
ajaran-Nya dan mejauhi larangan-Nya. Berdasarkan hal tersebut, maka Agama
Katolik merupakan salah satu agama di dunia, yang didirikan oleh Yesus Kristus
di atas Rasul Petrus sebagai perwakilan-Nya di dunia. Umat katolik biasa
disebut sebagai gereja. Atau dengan kata lain, gereja adalah persekutuan umat
yang beriman dan percaya kepada Yesus Kristus, sehingga agama katolik biasa
juga dikenal sebagai gereja katolik.
Dalam
sejarahnya, gereja katolik memiliki empat tanda, yaitu: satu, kudus, katolik,
dan apostolic. Katolisitas.org, 2017; menyatakan bahwa “Gereja Katolik sampai sekarang mempunyai kesatuan pengajaran
yang berasal dari Yesus dan ajaran para murid dan bapa Gereja. Ajaran Gereja
Katolik selalu mengambil sumber dari pengajaran Yesus dan para rasul,
sebagaimana yang dilestarikan oleh para penerus mereka. Perumusan suatu ajaran
yang diadakan di abad-abad kemudian bukan merupakan perubahan ataupun tambahan
yang sama sekali baru terhadap suatu ajaran, namun merupakan penjelasan yang
semakin menyempurnakan ajaran tersebut” (http://www.katolisitas.org/mengapa-kita-memilih-gereja-katolik/). Gereja katolik berjalan di atas tiga pilar dasar, yaitu:
kitab suci, tradisi suci, dan magisterium gereja. Dalam pratiknya, gereja
katolik mengakui bahwa kitab suci adalah pilar kebenaran. Namun, hal tersebut
tidak serta merta menyangkal kebenaran lain selain kitab suci. Menurut
katolisitas.org, 2017; terdapat empat hal yang menguatkan, yang menurut gereja
katolik merupakan sebuah penolakan terhadap pernyataan bahwa satu-satunya
sumber kebenarana alah kitab suci, yaitu: (a) Kitab Suci sendiri tidak pernah mengatakan
demikian; bahkan menekankan pentingnya pengajaran para rasul yang disampaikan
secara lisan maupun tertulis dan otoritas kepemimpinan dalam Gereja; (b) Gereja
lahir terlebih dahulu sebelum Kitab Suci; (c) Dengan inspirasi Roh Kudus,
Gereja-lah yang menentukan kitab-kitab mana yang masuk dalam Kitab Suci; dan
(d) Sola
Scriptura tanpa ada otoritas yang menentukan interpretasi yang
benar, terbukti menghasilkan perpecahan gereja.
3.
Dogma-dogma
Gereja Katolik
Menurut
katolisitas.org, 2017; dogma adalah “Sebuah pengajaran dari Gereja yang secara
implisit maupun eksplisit dinyatakan oleh Kitab Suci atau Tradisi Suci, yang
dipercaya oleh umat beriman karena pemakluman agung atau wewenang mengajar yang
biasa dari Gereja. Agar sebuah pengajaran menjadi sebuah dogma, kebenaran yang
spesifik harus secara formal pernah dinyatakan dan diajarkan oleh Gereja;
sebagai tambahan, dogma adalah mengikat umat beriman. Oleh karena itu,
penerimaan dogma diperlukan untuk keselamatan”. Dalam artikel yang sama, juga
dikatakan bahwa ”Dogma adalah pernyataan tentang kebenaran yang dinyatakan
secara resmi oleh Gereja demi keselamatan umatnya. Dengan pernyataan resmi dari
Gereja, maka kita dapat yakin bahwa kebenaran yang dinyatakan adalah benar,
yang dapat bersumber pada Alkitab, Tradisi Suci, maupun Magisterium Gereja-dimana
ketiganya tidak mungkin saling bertentangan, karena kebenaran tidak mungkin
saling bertentangan. Dan pada saat kita mengatakan kita beriman, maka kita
percaya kepada otoritas yang menyatakannya. Dalam hal ini otoritas kita
bersumber pada Tuhan dan Gereja yang telah diberikan kuasa oleh Tuhan untuk
menyatakan kebenaran. Oleh karena itu, iman yang benar adalah “obedience of
faith“, dimana kita taat akan kebenaran yang dinyatakan”. Dengan
kata lain, dogma gereja katolik pada hakikatnya mengatur tentang bagaimana umat
sebagai gereja menjalankan hidupnya sebagai bagian dari gereja katolik.
Terdapat 16 dogma
gereja katolik yang ada saat ini. Berdasarkan katolisitas.org, 2017, dari ke-16
dogma tersebut dogma ke-VI The Catholic
Church merupakan dogma tentang gereja katolik itu sendiri yang dapat
dijabarkan sebagai berikut:
a. The Catholic Church
was founded by the God-Man Jesus Christ.
b. Christ founded the
Catholic Church in order to continue His work of redemption for all time.
c. Christ gave His
Church a hierarchical constitution.
d. The powers bestowed
on the Apostles have descended to the Bishops.
e. Christ appointed the
Apostle Peter to be the first of all the Apostles and to be the visible Head of
the whole Catholic Church, by appointing him immediately and personally to the
primacy of jurisdiction.
f. According to Christ's
ordinance, Peter is to have successors in his Primacy over the whole Catholic
Church and for all time.
g. The successors of
Peter in the Primacy are the Bishops of Rome.
h. The Pope possesses
full and supreme power of jurisdiction over the whole Catholic Church, not
merely in matters of faith and morals, but also in Church discipline and in the
government of the Church.
i. The Pope is
infallible when he speaks ex cathedra.
j. By virtue of Divine
right, the bishops possess an ordinary power of government over their dioceses.
k. Christ founded the
Catholic Church.
l. Christ is the Head of
the Catholic Church.
m. In the final decision
on doctrines concerning faith and morals, the Catholic Church is infallible.
n. The primary object of
the Infallibility is the formally revealed truths of Christian Doctrine
concerning faith and morals.
o. The totality of the
Bishops is infallible, when they, either assembled in general council or
scattered over the earth propose a teaching of faith or morals as one to he
held by all the faithful.
p. The Church founded by
Christ is unique and one.
q. The Church founded by
Christ is holy.
r. The Church founded by
Christ is catholic.
s. The Church founded by
Christ is apostolic.
t. Membership of the
Catholic Church is necessary for all men for salvation.
4.
Perbedaan dan
Persamaan Gereja Katolik dan Agama Lain
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat dikatakn bahwa, gereja katolik memiliki perbedaan
sekaligus persamaan dengan agama-agama lain. Dalam refleksi saya, perbedaan
agama katolik dengan agama lain terletak pada tiga hal seperti berikut:
a.
Iman. Gereja
katolik mengimani bahwa Yesus Kristus adalah pendiri gereja di atas Rasul
Petrus yang diteruskan oleh Para Paus dan Uskup selaku magisterium gereja (Dan Akupun
berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan
mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya-Mat.16:18). Dalam iman kristiani, Yesus Kristus merupakan jalan
keselamatan itu sendiri. Sebagai umat katolik, dasar iman kita berdasarkan pada
tiga pilar, seperti: kitab suci, tradisi suci, dan magisterium gereja. Hal ini
membedakannya dengan umat kristiani non-katolik (Protestan), karena mereka
percaya bahwa satu-satunya sumber kebenaran adalah Kitab Suci. Gereja katolik
juga beriman kepada Tritunggal Mahakudus dengan adanya dogma I – The Unity and The Trinity of God. Dogma
mempertegas bahwa iman umat katolik percaya bahwa Tuhan adalah satu tetapi
memiliki tiga pribadi, yaitu: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Dogma ini
membedakannya dengan iman agama lain seperti Isam dan Yahudi, meskipun
sama-sama merupakan agama samawi, yaitu agama yang diyakini sebagai agama
pewahyuan. Menurut agama Islam Tuhan hanyalah Satu, secara tidak langsung
menolak eksistensi Yesus sebagai Putra Allah. Karena dalam pandangan mereka,
Yesus hanyalah seorang Nabi, yang dikenal sebagai Nabi Isa. Iman akn Tuhan yang
satu ini juga berbeda menurut iman umat penganut Agama Hindhu. Karena menurut
iman mereka, yang transedens itu adalah Dewa-Dewa. Artinya, mereka meyakini
adanya Tuhan yang Banyak.
b. Tradisi. Tradisi
suci adalah warisan gereja katolik. Gereja katolik percaya bahwa tradisi suci
merupakan salah satu sumber kebenaran yang harus diikuti selain Kitab Suci.
Tradisi suci dipercaya berasal dari Tuhan, melalui Rasul Petrus. Menurut
katolisitas.org, 2014; “Tradisi Suci adalah
Tradisi yang berasal dari para rasul yang meneruskan apa yang mereka terima dari
ajaran dan contoh Yesus dan bimbingan dari Roh Kudus. Oleh Tradisi, Sabda Allah
yang dipercayakan Yesus kepada para rasul, disalurkan seutuhnya kepada para
pengganti mereka, supaya dalam pewartaannya, mereka memelihara, menjelaskan dan
menyebarkannya dengan setia. Maka Tradisi Suci ini bukan
tradisi manusia yang hanya merupakan ‘adat kebiasaan’. Dalam hal ini, perlu
kita ketahui bahwa Yesus tidak pernah mengecam seluruh adat kebiasaan manusia,
Ia hanya mengecam adat kebiasaan yang bertentangan dengan perintah Tuhan.
Sehingga jelas bahwa, dalam setiap agama pada dasarnya memiliki tradisi yang
dianggap berasal dari Tuhan berdasarkan Imannya.
c.
Pandangan
Internal Gereja Katolik tentang dirinya. Gereja katolik memandang dirinya
sebagai sumber keselatan kepada setiap bangsa. Artinya, gereja katolik meyakini
bahwa keselamatan akan diperoleh melalui Yesus Kristus. Hal ini membedakannya
dengan agama-agama lain, karena pada dasarnya semua agama mempercayai adanya
utusan Tuhan dalam agamanya masing-masing.
Selain perbedaan yang cukup mencolok di atas, gereja katolik juga mempunyai kesamaan dengan agama-agama lain. Menurut saya, persamaan tersebut terletak pada dua hal, yaitu Sumber Iman dan Ajarannya, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Sumber iman. Iman
adalah anugerah cuma-cuma dari Allah kepada manusia. Semua agama mengakui
adanya Sang Pencipta yang misteri dan Maha Esa atau Allah yang Transedens, yang
berada di luar logika dan akal budi manusia. Tetapi manusia dapat berkomunikasi
dengan Tuhan melalui imannya masing-masing.
b.
Ajaran dasar.
Yesus pernah bersabda bahwa, hukum yang pertama dan yang utama adalah mencintai
Allah sebagai sang Pencipta dengan segenap hati ("Kasihilah Tuhan,
Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
akal budimu-Mat. 22: 37), dan hukum yang
kedua adalah mencintai sesama manusia (Kasihilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri-Mat.22: 39). Dalam praktik keagamaan setiap agama, selalu
berkaitan dengan dua hal tersebut, yaitu: relasi manusia denga Allah dan relasi
manusia dengan manusia lain dan lingkungannya, meskipun perbedaanya terletak
pada perumusan dari kedua hal tersebut.
B. Mendialogkan
Perbedaan dan Persamaan Agama Katolik dengan Agama-agama Lain
1.
Pada Tataran
Konseptual/Dogmatis
Dalam
dogmanya tentang eksistensi gereja katolik di dunia ini, gereja percaya bahwa “Kristus
mendirikan Gereja Katolik untuk melanjutkan pekerjaan penebusan-Nya sepanjang
masa”. Dogma ini menjadi menarik karena, di satu sisi gereja menganggap dalam
tradisinya sebagai sumber keselamatan bagi umat manusia. Tetapi di sisi lain,
dogma ini juga dapat dipandang sebagai tanggung jawab gereja untuk
memperjuangkan keselamatan bagi dunia, dalam bentuk perdamaian. Karena
faktanya, ketika dunia tidak damai akan banyak terjadi peperangan yang
menghilangkan banyak nyawa. Sehingga sebagai bentuk dialog, gereja harus
menunukkan dirinya sebagai sumber kedamaian, dengan mendukung setiap usaha
perdamaian di dunia, seperti yang diperjuangkan oleh Paus Yohanes Paulus II dan
Paus Fransiskus saat ini. Gereja sebagai yang katolik (ciri ketiga gereja) juga
harus membuka dirinya terhadap kenyataan dari dunia yang beragam, dunia yang
memiliki banyak agama. Dengan kata lain gereja harus memandang bahwa
keselamatan itu bisa diperoleh semua bangsa dengan melakukan dua hukum utama
yang telah disabdakan oleh Yesus sendiri yaitu: Mencintai Allah sepenuh hati
dan mencintai sesame manusia.
Selain
dogma tersebut di atas, gereja katolik juga percaya bahwa “Keanggotaan Gereja
Katolik diperlukan bagi semua orang untuk keselamatan”. Di sini gereja harus
memandang dirinya sebagai salah satu jalan keselamatan, bukan sebagai
satu-satunya keselamatan itu. Karena jika demikian, maka gesekan antar umat
beragama akan terjadi. Gereja harus menjadi contoh bagi agama lain, dalam hal
keterbukaan dan pengakuan terhadap iman yang dijalankan oleh agama lain.
2.
Pada Tataran
Faktual/Praktis
Sebagai
konsekuensi dari dogma-dogma gereja katolik, maka dalam tataran faktul, gereja
telah membuka dirinya bagi dunia luar, seperti yang terjadi setelah konsili
vatikan II. Artinya, gereja harus membuka dirinya terhadap kritikan dan
mengembangkan ajarannya sesuai dengan perkembangan jaman. Jika saat ini, dunia
sedang mengalami krisis kedamaian, maka gereja harus berani mengecam setiap
tindakan yang menentang perdamaian dunia. Gereja juga harus menjadi pelopor
dalam perjuangan perdamaian dunia. Dengan kata lain, gereja harus fleksibel,
sehingga idak adanya radikalisme di dalam tubuh gereja. Karena tubuh gereja
adalah mistis, yang merupakan penjelman dari Tubuh Yesus Kristus.
Konsekuensinya adalah gereja harus mampu menyakiti dirinya sendiri untuk
kepentingan semua bangsa, seperti Yesus yang telah mengorbankan diri-Nya di
kayu salib demi menebus dosa-dosa umat manusia.
Oleh
karena itu, dalam kehidupan praktis, hal-hal yang harus dilakukan oleh gereja
adalah:
a.
Menjadi yang
terdepan dalam mendialogkan tentang agama-agama.
b.
Menjadi yang
terdepan dalam meperjuangkan perdamaian, meskipun harus menyakiti diri sendiri.
c.
Menjadi terdepan
dalam hal pengakuan akan keberagaman.
d.
Menjalin hubungan
yang erat antar umat beragama, seperti sabda Yesus – cintailah manusia lain
seperti mencintai dirimu sendiri.
e.
Gereja harus
mewartakan kabar gembira dalam bentuk tindakan nyata cinta kasih, membela kaum
tertindas.
C. Gambaran
Ideal/Teoritis Tentang Dialog-dialog Antar Agama di Masyarakat Kampus
Seperti yang telah dijelaskan pada pendahuluan, saat
ini kaum muda atau mahasiswa sedang mengalami krisis toleransi terhadap pemeluk
agama lain, bahkan rela melakukan penyerangan akibat dari pemahaman yang
keagamaan yang sempit. Oleh karena itu, beberapa gambaran ideal dari dialog
antar agama di masyarakat kampus dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Mengembalikan
daya kritis mahasiswa terhadap ajaran agama. Di atas telah dikatakan bahwa,
salah satu penyebab dari paham radikalisme yang massif dalam lingkungan kampus
adalah karena mahasiswa mengonsumsi informasi keagamaan secara sempit. Oleh
karena itu, untuk menangkal hal tesebut, diperlukannya kegiatan diskusi antar
umat beragama di kampus. Tetapi harus digarisbawahi adalah, diskusi tersebut
tidak menjurus ke perdebatan dan mencari agama mana yang paling baik dan benar.
Tetapi diskusi yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan pertukaran
informasi-informasi tentang agama-agama.
2. Adanya kegiatan
pengunjungan rumah ibadah setiap agama. Hal ini penting, karena mengingat
kecurigaan yang menjadi penyebab adanya ujaran kebencian. Untuk menghindari hal
tersebut, maka kunjungan terhadap kegiatan ibadah di rumah ibadah dirasa
penting karena dapat menghilangkan kecurigaan terhadap agama lain.
3. Melakukan gerakan
Bersama dalam melawan radikalisme. Preseden dari dua kegiatan di atas adalah
adanya tindak lanjut dalam berupa aksi damai, seperti melakukan teater Bersama
dalam menagkal radikalisme yang telah menjalar di kampus.
4. Menambahkan mata
kuliah kehidupan beragama dalam kurikulum kampus, di mana di dalamnya
membicarakan tentang pentingnya dialog antar umat beragama. Dan konsep kelasnya
adalah diikuti oleh semua mahasiswa dari semua agama, sehingga indikasi penularan
agama melalui kelas dapat dicegah dan mudah untuk dideteksi.
5. Menghidupkan
kembali Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di kampus, dengan melakukan
kegiatan atau outbond Bersama di luar
kampus.
6. Dalam lingkup
yang lebih kecil atau kelas, mahasiswa harus berani terbuka akan perbedaan
agama-agama. Berani menentang, jika materi perkuliahan yang diajarkan oleh
dosen menjurus ke hal-hal yang mendiskreditkan agama lain.
Penutup
Gereja katolik sebagai salah satu agama di dunia adalah gereja yang mengedepankan perdamaian dan cinta kasih. Dalam praktiknya, gereja katolik adalah gereja yang terbuka terhadap keberagaman. Hal ini harus ditanamkan pada generasi muda katolik, sebagai bekal dalam mendialogkan ajaran agama katolik dengan agama-agama lain. Gereja katolik sebagai gereja yang didirikan oleh Yesus Kristus, pada hakikatnya meneriman perbedaan dan persamaan yang nyata terjadi di masyarakat, khususnya masyarakat kampus.
Gereja katolik sebagai salah satu agama di dunia adalah gereja yang mengedepankan perdamaian dan cinta kasih. Dalam praktiknya, gereja katolik adalah gereja yang terbuka terhadap keberagaman. Hal ini harus ditanamkan pada generasi muda katolik, sebagai bekal dalam mendialogkan ajaran agama katolik dengan agama-agama lain. Gereja katolik sebagai gereja yang didirikan oleh Yesus Kristus, pada hakikatnya meneriman perbedaan dan persamaan yang nyata terjadi di masyarakat, khususnya masyarakat kampus.
DAFTAR PUSTAKA
Anonym. 2017. Definisi
Agama, Keprihatinan, dan Tantangannya. Katolisitas.org
(online) (http://www.katolisitas.org/definisi-agama-keprihatinan-dan-tantangannya/, diakses 8 Maret 2018).
Anonym. Tanpa tahun. Kamus Besar Bahasa Indonesia (online) (https://www.kbbi.web.id/, dikases 8 Maret 2018).
Jawa Pos. 27 Oktober 2017.
Muhammaddin. 2013. Kebutuhan Manusia Terhadap Agama. Jurnal Ilmu Agama (online), Vol 14 No 1
(2013) 99-114, (http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/JIA/article/view/464, diakses Kamis, 8 Maret 2018).
Sumartana, Th., dkk. 1993. Dialog: Kritik dan Identitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Yogyakarta.
Comments