KADERISASI: Kilas Balik (refleksi dan sharing)
Bagi sebagian orang awam (di baca: secara kasar
tidak mengerti pakem dan keintiman sebuah bahasa) mengartikan kaderisasi
sebagai penggabungan dari kata “kader” dan akhiran “isasi”. Di sini,
berdasarkan pendekatan jenis-jenis kata, saya mencoba mengkategorikan kata
“kader” sebagai kata sifat. Makna yang diberikan dari keberadaan kata “kader”
adalah satu-satunya indikasi terjadinya pengkategorian tersebut. Melanjutkan
pengkategorian tersebut, akhiran “isasi” pada hakekatnya adalah memperluas
makna dari kata “kader’. Sehingga, jika kata “kader” dikategorikan sebagai kata
sifat, maka akhiran “isasi” yang berarti peroses hadir untuk mengkonkretkan
sifat yang ditimbulkan oleh kata “kader” itu sendiri. Berarti akhiran “isasi’
tidak bisa dipandang sebelah mata, karena secara simbolis akhiran “isasi”
menggeser makna kata “kader” dari sebatas Kata Sifat menjadi Kata Kerja, yang tentunya lebih
konkret dan dapat diukur.
Kader sebagai “kata” mempunyai defenisi yang luas
dan beragam tergantung dari jawaban atas pertanyaan “siapa”, “kapan”, dan “di
mana” (yang mengartikan). Namun, dalam konteks saat ini, saya mengartikan kata
“kader” dari pandangan umum dan khusus. Secara umum, kader diartikan sebagai
seseorang yang memiliki soft skill
berupa wawasan (luas) dan mempunyai hard
skill berupa ketrampilan yang merupakan implementisasi dari wawasan
tersebut yang bersifat baik. Jadi secara umum kata “kader” adalah bentuk nyata
dari pemikiran atau idealisme yang bersifat baik dan berani. Secara khusus
dalam konteks MABIM (Masa Pembinaan dan Penerimaan Anggota Baru) Perhimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) , kata “kader” adalah identitas
dari anggota PMKRI itu sendiri. PMKRI mengartikan “kader” sebagai seseorang
yang berilmu tinggi yang tampak dalam kemampuan berpikir sistematis, realistis,
dialektis dan radikal berhadapan dengan keadaan sosial kemasyarakatan dan dalam
tindakan kedisiplinan, dedikatif, simpatik, demokratis, dan kesadaran akan eksistensinya
sebagai anggota organisasi (PMKRI) dan pengikut Kristus serta bertanggungjawab
akan tugas mewujudkan tujuan penciptaan, keadilan sosial, kemanusiaan, dan
persaudaraan sejati (buku saku). Maka “kaderisasi” diartikan sebagai peroses pengalamiahan
dari identitas sebagai kader. Di sisi lain, PMKRI mengartikan MABIM sebagai
pendalaman dan internalisasi visi, misi, dan nilai-nilai dasar PMKRI. Jika dua
pengertian tersebut dibandingkan, maka jelas bagi kita bahwa pada dasarnya
benang merah dari kedua hal tersebut dapat dijelaskan dalam analogi sebagai
mata uang, yang mempunyai dua sisi berbeda namun saling menjelaskan dan memberi
nilai satu sama lain. Secara eksplisit keduanya membentuk pola hubungan sebab-akibat
dan saling ketergantungan. Identitas kader menyebabkan kaderisasi. Kaderisasi
nyata dalam kegiatan MABIM. MABIM menghasilkan anggota yang beridentitas kader.
Identitas Kader Sebagai Esensi Dasar dari Kepribadian
Kamis, 7 NOVEMBER 2014 setelah mengikuti prosesi pembukaan MABIM (protokoler), kami (peserta MABIM) disuguhkan dengan materi tentang Teori Kepribadian. Secara unik tapi sangat efektif Ibu Amelia selaku pemberi materi mengawali materinya dengan memberikan kesempatan bagi peserta untuk bertanya dan mendefenisikan pengertian kepribadian di atas sebuah kertas. Ini adalah metode baru bagi saya setelah saya membandingkan dengan pelatihan-pelatihan lain yang pernah saya ikuti. Saya tidak mengerti berkaitan dengan sasaran dari metode seperti ini. Namun, entah karena sebuah kebetulan saya menyadari bahwa metode ini telah memberi ruang pada kenyataan bahwa kepribadian pada hakekatnya adalah mempunyai karakteristik tertentu dan berbeda satu dengan yang lainya.
Dari kesadaran itu, muncul berbagai pertanyaan dalam benak. Beberapa pertanyaan tersebut di antaranya adalah; jika demikian mengapa kepribadian itu harus dikembangkan, toh pada hakekatnya setiap orang mempunyai kepribadian yang berbeda? Mengapa dalam MABIM teori kepribadian diutamakan dan menjadi pertama? Saya mencoba mencari jawaban itu pada setiap kalimat, analogi, dan contoh yang diberikan oleh Ibu Amelia.
Setelah peserta membaca teori kepribadian yang tertulis secara bergantian, Ibu Amelia menutup sesi pembukaan tersebut dengan mendefenisikan kepribadian menurutnya. Secara singkat dia mengatakan bahwa “kepribadian adalah cara untuk merespon stimulus”. Meskipun singkat, defenisi ini sudah menjawabi pertanyaan saya. Bagi saya, defenisi tersebut berasal dari sebuah refleksi yang dalam dan sesuai konteks dengan eksistensi individu dalam hubungan sosial yang diwarnai berbagai masalah. Selayaknya seperti solusi bagi sebuah masalah, keperibadian tentunya berawal dari tahapan-tahapan yang berbeda tapi penting untuk dijalankan. Tahapan-tahapan itu dimulai dengan kesadaran akan diri yang sesungguhnya, kesadaran akan tanggung jawab yang dengan serta merta ada sebagai konsekuensi keberadaan manusia sebagai makhluk biologis dan makhluk sosial. Kesadaran akan tujuan hidup yang tentunya membahagiakan. Fakta bahwa tujuan hidup setiap orang berbeda, sehingga tahap selanjutnya sangat tergantung dari kedalaman refleksi akan tujuan hidup. Tahap ini adalah kemauan membentuk pola kebiasaan. Pada tahap ini akhirnya saya mengerti mengapa kepribadian setiap orang berbeda dari satu dengan yang lainnya. Karena sebenarnya pola kebiasaan yang dijalankan setiap orang berbeda. Semakin jauh dapat disimpulkan bahwa kepribadian sebenarnya sangat tergantung dari pola kebiasaan yang dijalankan. Saat pola itu nyata terjadi dalam kehidupan manusia, saat itulah keperibadian berkembang. Kepribadian yang berkembang adalah konsekuensi dari pola kebiasaan. Jika pola itu bersifat baik, maka kepribadian akan berkembang secara positif dan kepribadian tidak akan berkembang jika dalam berdinamika kita tidak mempunyai pola yang unik.
Selanjutnya, saya berada pada titik kesadaran akan arti sesungguhnya dari kaderisasi. Kaderisasi adalah jawaban atas kehausan jaman akan identitas orang muda sebagai agent of changes, akan kenyataan mental kaum muda yang oleh Koentjaraningrat disebut sebagai mental nrabas dan mental instan. Mental seperti ini adalah sebuah kesalahan. Sebelum kesalahan ini berbudaya maka harus dipotong oleh sebuah pisau yang oleh PMKRI disebut sebagai kaderisasi. Mengutip perkataan Timothy Wibowo bahwa ketika manusia belajar untuk mengatasi kelemahannya, memperbaiki kelemahanya, dan memunculkan kebiasaan baru yang positif maka inilah yang disebut sebagai karakter. Maka benar jika kebiasaan dapat membentuk karakter, karakter dapat membentuk sebuah kepribadian. Akhirnya kader sebagai kepribadian PMKRI adalah jawaban akan pertanyaan mengapa dalam MABIM teori kepribadian menjadi yang pertama dan utama.
Dari Keterampilan Ansos Hingga Implementasi Pola Kepribadian Kader
Jika keintegritasan seorang guru dijelaskan dalam empat kompetensi yang dimilikinya (kepribadian, sosial, profesional, dan pedagosis), maka integritas sebagai seorang anggota PMKRI ada pada pribadi sebagai kader. Mengacu pada pengertian kader yang seharusnya nyata terdefenisi dalam setiap jejak-jejak yang diukirnya, maka perkataan Ketua Presidium PMKRI Cabang Surabaya pada Jumaat, 8 NOVEMBER 2014 di marga siswa St. Lucas adalah benar ketika perjuangan seorang anggota PMKRI lebih kepada berjuang dengan berpihak dan terlibat. Kedua bentuk perjuangan ini tentunya tidak bermaksud untuk mengeliminir ranah intelektual dalam diri mahasiswa (jika ada). Itu terbukti ketika materi tentang Analisis Sosial/lingkungan (ansos) menjadi tak terpisahkan dari kaderisasi.
Sehingga pada Kamis malam, 7 NOVEMBER 2014 kami para peserta MABIM mendapat suguhan materi tentang Analisis Lingkungan. Analisis dan strategi menjadi tema yang terselubung dari suguhan materi tersebut. Menjadi menarik ketika tema ini dikaitkan dengan materi sebelumnya, tentang teori kepribadian. Jika materi tentang kepribadian hanya berkutat pada motivasi untuk membentuk pola, maka materi tentang analisis lingkungan menjadi gerbang untuk bisa melangkah dan memulai membentuk pola-pola tersebut. Bagi saya secara peribadi materi ini menjadi pijakan bagi kita untuk menentukan apa itu indikator kebaikan dalam kehidupan berorganisasi, terutama dalam menggapai kebaikan bersama yang tentunya berlandaskan nilai Kekatolikan, Intelektualitas, dan Fraternitas. Sehingga kita tidak melenceng dari apa yang disebut visi dan dari track yang disebut misi.
Akhirnya kapabilitas kita sebagai anggota PMKRI sebenarnya pada kecerdasan dalam menentukan posisi untuk berpihak dan terlibat. Sifat ilmiah yang terkandung dalam “analisis sosial” mampu mereduksi subyektifitas dari pribadi kader. Karena pada seyogyanya metode SWOT (strength, weakness, opportunity, dan threats) sebagai salah satu metode yang diperkenalkan dalam menganalisis lingkungan/sosial sangat tergantung dari cara kita memandang dan kepentingan yang mengikutinya.
Pada 8 NOVEMBER 2014 kapabilitas para peseta MABIM diuji dengan menganalisis tentang dampak kenaikan BBM di pasar Keputran. Siang itu, peserta MABIM dibagi dalam beberapa kelompok untuk memburu informasi tentang keadaan orang-orang yang diprediksi menjadi subyek pertama yang merasakan dampak Kenaikan BBM yang sering dekenal sebagai para pedagang. Jarak tempuh yang jauh (dengan berjalan kaki), sengatan si raja siang, hiruk pikuk kota Surabaya tidak menjadikan nyali para peserta kecut dan kendor. Terutama karena sebelumnya para peserta telah dibekali dengan materi tentang Sembilan Langkah Program. Materi ini menjadi daya penambah semangat dan kepercayaan diri akan orientasi keberpihakan dan keterlibatan.
Di luar dugaan, presentasi atas hasil analisis yang dilakukan oleh setiap kelompok pada sore harinya sangat beragam. Meskipun keberagaman itu bukanlah sebuah kesalahan tetapi menjadi masalah ketika kita berada pada titik penentuan posisi. Namun, kenyataan itu membuat mata kami terbuka. Bahwa dunia ini penuh dengan kepentingan. Sentilan tentang dunia hanyalah sebagai panggung sandiwara menjadi pisau tajam dalam mengupas makna yang sesungguhnya dari “kaum tertindas”. Hal ini menjadi pelajaran berharga bagi kami para peserta, bahwa menjadi pejuang dengan terlibat dan berpihak bukanlah sesuatu perkara mudah yang hanya dapat dijelaskan dengan retorika belaka. Tetapi hanya dapat dijelakan ketika kita menjadi bagian dengan sadar. Mengacu pada Pidato Ketua Presidium PMKRI pada sidang protokoler penutup saya dapat menyimpulkan bahwa “anggota PMKRI adalah pejuang yang berani berpihak dan terlibat pada kaum tertindas dalam artian sebenarnya dengan aktif dan penuh kesadaran”.
Comments