merdeka itu?

saat anda ingin meminum kopi
anda mengambil gelas bersih
mengambil kopi dan memasukkannya ke dalam gelas
sesuai dengan takaran yang anda inginkan
lalu mengambil gula juga sesuai dengan estimasi rasa yang anda suka
menuangkan air panas ke dalam gelas
sebanyak kenikmatan yang anda ingin sajikan
yang pasti sebelumnya anda tau
bahwa gelas anda mempunyai batas maximal
 untuk menampung semua keinginan anda

Dan saatnya menikmati kopi....

Sore ini, segelas kopi manggarai menemaniku menjajal dunia yang bertumpukan kertas bersimbol. Kehadirannya menjadikan meja kecilku penuh sesak. Sedikit tumpahannya berwarna hitam pekat menambah warna baru pada si pudar merah putih dari ribuan helai benang yang menutupi kulit kusam pada badan ini. Sedikit menyesal atas keadaan itu, namun harum aroma kopi membuatku berpaling dari kenyataan bahwa benang-benangku kotor karena ulahnya. Tapi apa peduliku, kopiku bagaikan jalan tol yang mengantarku menyusuri lorong-lorong rumit dari sederetan huruf kaku bak labirin. Kopiku adalah senjataku sore ini. Senjata yang selalu menjadi andalan dalam berperang melawan setan malam yang juga selalu hadir di siang hari, “ngantuk”. Akhirnya kopiku membuatku menjadi bisa menikmati sunset meskipun hanya dalam khayalan, karena dalam kamarku yang sempit ini sang surya hanya menemaniku dalam tetesan keringat dan kualami itu setiap hari.  
Itulah kopiku, keadaanya selalu seperti itu, selalu berhasil memenuhi meja kecilku. Meja yang tak pernah perotes, selalu diam, kaku, namun mejaku selalu setia pada setiap beban yang berada di atasnya. Walaupun aku tahu, bahkan sering mendengar protes halusnya, lewat decitan kakinya yang semakin menua. Tapi aku tidak mengambil pusing, karena pikirku dia hanya sebuah meja. Karena meja diciptakan hanya untuk menanggung beban. Tapi aku sebagai insan yang terlahir di atas perut sang pertiwi bukanlah meja. Meja hanyalah meja dan akulah beban terbesarnya sepanjang hidup. Dan meja selalu iri dengan kopiku.
Setetes demi setetes kucicipi cairan berwarna hitam pekat. Tanpa tersadari sudah sejam kutemani mejaku, meskipun tepatnya mejakulah yang selalu menemaniku. Tapi akulah penguasanya. Aku adalah tuan dari ruang yang luas. Luas bukan karena ukurannya, kamarku hanya berukuran 3x3 meter. Luas karena mampu menampung tubuhku yang mungil, berarti sangat tergantung dengan paradigmaku. Walaupun aku tahu, teman di samping kamarku lebih mungil. Ini bukan untuk menghibur diriku sendiri, tapi begitulah kenyataannya, teman di samping kamarku lebih mungil. Tapi kamarnya lebih luas dari kamarku.  Dentuman musik yang keras membuatku selalu berpikir, dia tidak pernah puas dengan kamarnya. Dia selalu merasa kamarnya terlalu kecil akan nafsu dari jiwanya yang selalu tidak puas. Sambil tersenyum aku bergumam pelan, “dasar orang hutan, dia pikir dunia ini milik nenek moyangnya apa???” eits,, jangan salah sangka dulu. Aku bergumam pelan bukan karena aku takut tapi alasan klasik supaya saya bisa meminjam uang saat wabah kanker (kantong kering) melanda kamar kecilku. Secara dia anak pejabat. Pasti uangnya banyak. Meskipun dalam laptopku banyak kritikan tentang pejabat, entah pejabat itu koruptorlah, pencurilah, pembunuhlah... tapi untuk alasan yang satu ini idealisme adalah topeng yang paling berpotensi. Terutama untuk alasan mendapatkan keuntungan sih,, hehehhehe.
Tapi tak apalah. Itu urusannya, itu kemerdekaannya, itu hidupnya asal, ia masih mau meminjamkan uangnnya buat saya, semuanya sah-sah saja, ia kan? Kembali soal kamar, aku cinta kamarku, kamarku Cukup membuatku untuk berkereasi, meskipun aku tak pernah berkereasi, tapi di sisi dalam jiwaku selalu mengakui aku adalah orang yang kereatif. Meskipun faktanya kamarku selalu seperti ini, tak ada warna, tak pernah berubah, tapi aku betah tinggal di sini dan tanpa alasan yang jelas. Aku membiarkan dia bermetamorfosis, biarkan dia menemukan jati dirinya dan berkembang sesuai dengan kemauannya. Walaupun kusadari itulah pemikiran ku yang paling bodoh sama dengan pemikiran bangsaku pada umumnya, yang selalu mengharapkan perubahan datang dari orang lain. Tapi cermin jiwaku tak pernah mununjukkan hal itu, jadi biarkan aku seperti ini. Hal yang paling penting adalah aku bisa tidur malam ini, dengan mimpi yang indah dan berhasil bangun pukul 11.00 esok hari.
Sekali lagi ku teguk kopiku, tapi rasanya semakin berbeda, semakin pahit, dingin, dan tak memberiku kenikmatan lagi. Dasar kopi! saat hangat dia bisa memberikan kenikmatan seisi dunia kepadaku, tapi saat dingin hanya pahit yang kudapat. Dia pikir dia indonesia apa? Hanya bisa memberikan kenikmatan sesaat saja. Tapi jangan bilang siapa-siapa, soalnya saya takut ketahuan, seperti Orde Baru saja. Bukan takut apa sih, tapi takut media masa memanfaatkan opiniku untuk menaikan rating komersialnya. Meskipun alasan sebenarnya adalah aku demam kamera. Aku sering tidak karuan di depan kamera, salah tingkah, akhirnya melakukan tingkah yang memalukan. Andaikan dulu aku terlahir seperti koruptor, meskipun salah tetap saja tidak malu saat di sorot kamera. Mungkin mereka sudah tidak punya urat malu, atau tidak punya kemaluan. Upss... maaf salah bicara. Soalnya sayakan generasi muda, anak remaja yang harus terlihat keren di depan orang banyak, yang selalu menggunakan bahasa “gaul” jadi maklumi saja jika saya tidak bisa berbahasa indonesia dengan benar dan baik sesuai EYD. Apalagi negara kita Indonesia kan negara yang berdemokrasi. Tapi apakah benar jika demokrasi itu berarti bebas untuk melecehkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional? Entahlah, tanyakan saja pada para ahli. Pasti mereka akan menjawab. Namun, Saat anda bertanya pastikan dulu, apakah anda mengenal mereka dengan baik atau tidak. Jika anda mengenal mereka, saran saya jangan sekali-kali tanyakan tentang itu kepada mereka. Apalagi bertanya tentang kemerdekaan. Karena jawaban mereka akan menciptakan situasi yang sangat dilematis, bahkan anda akan skeptis dengan makna kemerdekaan anda sendiri. Karena di negriku, suara mereka berharga Rp 5.000.000.00. Diusia Indonesia yang ke 69 arti kemerdekaan tidak lebih dari hitung-hitungan tahun. Untuk memaknai kemerdekaan saja harus di bayar, apakah itu yang dinamakan kemerdekaan sejati? Toh mereka juga meminjam pemikiran Bung Karno, Bung Hata, Bung Tomo, Max Weber atau siapalah itu.
Kembali ku lirik kopiku. Kopiku telah habis. Hanya tinggal ampas yang tak kubutuhkan lagi. Bangsat!!! Aku kembali bersumpah serapah. Tapi ampas ini mengingatkanku pada seminar beberapa hari yang lalu. Seminar bertemakan “Wawasan Kebangsaan” di bawah oleh seorang profesor salah satu lulusan terbaik luar negeri yang dibeasiswa oleh pemerintahan Indonesia. Rekam jejaknya membuat seluruh peserta seminar diam mebisu karena kagum, meskipun tak sedikit pula yang diam karena sedang bermimpi entah itu memimpikan menjadi seperti beliau atau mimpi sebagai efek dari kesalahn menggunakan sang malam. Aku tak peduli, karena saat itu aku juga bermimpi. Memimpikan gadis indonesia yang menganggap tanah air yang berbudaya sopan santun ini sebagai dunia barat. Suara keras bergemuruh membangunkan aku dari mimpiku. Aku kaget, tersentak... lalu kusadari asal suara itu berasal dari sang perofesor, yang dengan lantang menjelaskan tentang kesalahan Indonesia puluhan tahun silam. Sejenak aku berpikir, kalau memang demikian kemana orang-orang hebat ini selama ini. Mengapa mereka hanya berbicara tentang masalah yang ada, tapi tak pernah berbicara tentang solusi yang tepat untuk itu, atau sekedar menipu masyarakat tentang penemuan teknologi terbaru. Padahal orang kedua setelah mereka saat kulia di luar negeri telah mengumumkan hasil penelitiannya yang bisa membantu kehidupan masyarakat. Itulah indonesiaku. Indonesia yang selalu berjalan dalam keagungan masa silamnya. Indonesia yang tidak pernah mengerti akan arti kemerdekaan. Usaha keras para pahlawan hanya dibalas dengan serentetan lomba makan kerupuk. Mungkin karena mental bangsaku hanya setebal kerupuk, yang cepat hancur dan kendur termakan usia.

Kopiku pada akhirnya habis
Seiring waktu, soreku habis
Entah apa yang terjadi malam nanti
Tapi sore ini aku telah menikmati kopiku
Detik ini aku telah menikmati kemerdekaanku
Tapi apakah merdekaku sama seperti kopiku
Hanya waktu yang tau
Aku akan selalu menikmati kopiku di setiap sore ku
Karena itulah kemerdekaanku
Merdeka yang bertanggung jawab
Berawal dari sebuah paradigma
“bagaimana caranya supaya aku bisa menikmati kopiku lagi di esok hari”

Dari sang penikmat kopi disore hari
Surabaya, 19 AGUSTUS 2014
KONSTANTINUS MOKO

Comments

Popular posts from this blog

Irigasi: NOMENKLATUR, KEBUTUHAN DEBIT, DAN EFISIENSI IRGASI

TEKNIK SIPIL VS GAYA dan MOMEN

LAPORAN SURVEY - Lokasi Plaza Surabaya